“Tempat tidur sudah berserakan. Segala sesuatunya jatuh. Pintu bangsal terkunci, sehingga harus didobrak supaya kami bisa menyelamatkan diri. Kami berlarian di lorong bangsal Rumah Sakit, berusaha melarikan diri. Kaca-kaca pecah. Saat sudah keluar bangunan, tampak bangunan berayun-ayun. Lalu air yang berada di kolam di luar bangunan rumah sakit tiba-tiba memancar deras keluar dari dalam kolam. Semua orang kembali masuk ke dalam bangunan karena panik. Saya sampai terjepit bed pasien yang didorong keluar untuk menyelamatkan pasien yang tidak bisa berjalan. Kami berusaha mencari jalan keluar lain untuk menyelamatkan diri.”
Namanya Ibu Sumarni, warga desa Lambara, kecamatan Tawaeli. Saat bencana terjadi, perempuan paruh baya itu sedang berada di RS Nasanapura, Petobo, persis di mana luapan lumpur likuefaksi yang tumpah ruah berhenti. Ia memang sedang menemani anaknya yang kebetulan baru melahirkan. Memang terjadi beberapa kali gempa di hari itu sebelum gempa 7.4 SR meluluhlantakkan Palu, Sigi, dan Donggala. Namun ia tidak pernah menyangka bahwa bencana besar akan terjadi hari itu.
Ia terpisah dengan keluarganya. Saat berhasil menyelamatkan diri, ia melihat betapa kota Palu sudah hancur berantakan. Jalan-jalan terlipat bergelombang. Tiang listrik dan pepohonan rubuh. Listrik terputus. Bangunan runtuh. Lumpur di mana-mana. Kebakaran terlihat dari jauh, merah menyala dalam gelap. Belum lagi ketika ia mendapat kabar yang beredar dari orang-orang yang berpapasan dengannya, bahwa terjadi juga tsunami di pesisir. Semua orang sepertinya menuju bandara untuk menyelamatkan diri. Ia sempat diajak menuju bandara oleh orang yang juga menyelamatkan diri, namun ia bersikeras untuk pulang. Dari Petobo, ia berjalan kaki menuju Tawaeli, meski sudah dicegah oleh banyak orang karena mendapat kabar ada tsunami. Sampai di Mamboro, ia melihat mayat berserakan di jalan raya.
Sesampainya di daerah Anja, Tawaeli, ia disambut dengan tangis karena dianggap sudah meninggal. Ia tinggal di pengungsian di Anja selama dua minggu, karena ada juga rasa takut dan trauma untuk masuk ke dalam bangunan. Selama tiga hari pertama, ia berkumpul dengan pengungsi lainnya tanpa tenda. Mereka baru mendapatkan bantuan tenda dari salah satu pengungsi yang kebetulan bekerja di pelabuhan. Warga memang saling membantu satu sama lain.
Setelah dua minggu, ia menegar-negarkan diri untuk kembali ke rumah. Menurutnya, mau tidak mau ia harus memberanikan diri. Syukurlah, rumahnya tidak hancur. Hanya ada retakan-retakan kecil dan kerusakan di pintu rumah. Namun, bukan karena ia cukup beruntung, lantas ia melupakan penderitaan masyarakat lain yang mengungsi. Selepas bencana, ia turut aktif membantu merespon bencana dengan memberikan bantuan logistik ke titik-titik pengungsian lain.
Sampai akhirnya, di bulan Desember ia bergabung dengan aktivitas Rumah Samporoa Mombine yang dibangun oleh Yayasan Sikola Mombine. Ia menyalurkan distribusi makanan juga dari program Dapur Nutrisi, dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan di Samporoa Mombine. Baginya bergabung dengan Samporoa Mombine merupakan pengalaman yang berharga. Ia mendapatkan manfaat yang cukup besar. Bahkan setelah mengikuti berbagai pelatihan di Samporoa Mombine, ia kemudian terinspirasi untuk membuat usaha makanan sendiri. Ia membuat makanan kecil yang dijual secara kecil-kecilan. Tidak hanya itu, ia kemudian ikut mengelola Rumah Samporoa Mombine dengan menjadi pengasuh anak di sana.
Ia berharap kegiatan-kegiatan di Rumah Samporoa Mombine bisa terus berjalan. Karena menurutnya, Rumah Samporoa Mombine juga membantu dalam keberlangsungan ekonomi para perempuan penyintas bencana yang mengikuti program-program di Rumah Samporoa Mombine. Kepada pemerintah, ia berharap untuk lebih berperan aktif dalam meninjau titik-titik pengungsian, dan mendengarkan apa yang menjadi keluhan warga. Kepada agency lain, ia berharap mereka bisa memberikan dukungan kepada Rumah Samporoa Mombine, misalnya berkolaborasi dalam program. Ia sangat berharap Rumah Samporoa Mombine beserta aktivitas-aktivitasnya bisa dikenal oleh banyak orang.
Ditulis Oleh: Yappika – Aid