Perempuan dan anak di pengungsian Palu. Foto: Aizuddin Saad

Delapan bulan pascabencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi, masalah baru timbul timbul di kota Palu dan sekitarnya. Masalah-masalah ini diantaranya: Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan perempuan hingga pemaksaan pernikahan anak usia dini.

Temuan-temuan ini dilaporkan oleh banyak lembaga yang bekerja dalam pendampingan perempuan dan anak. Sebagai misal pada Maret 2019, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Tengah menerima 39 laporan kasus yang terjadi di beberapa lokasi pengungsian yang tersebar di wilayah kota Palu, Sigi dan Donggala. Kasus-kasus yang dilaporkan itu diantaranya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan dan percobaan pemerkosaan, pemukulan yang dilakukan anak tiri kepada ibu tirinya, pengintipan yang dilakukan saat mandi di lokasi-lokasi pengungsian, selingkuh, penelantaran terhadap istri dilakukan oleh suami serta ancaman traficking anak.

Lingkar Belajar untuk Perempuan (LIBU Peremuan) Sulawesi Tengah, secara spesifik menerima 10 kasus pernikahan anak di beberapa tempat pengungsian dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Kasus pernikahan anak tertinggi terjadi di pengungsian Petobo yakni sebanyak lima kasus, tiga kasus di Pantoloan, dua kasus di Jono Oge, dan satu kasus di Balaroa

Begitu pula dengan Rumah Samporoa Mombine, sebagai rumah ramah perempuan yang dibangun oleh Sikola Mombine bersama YAPPIKA-Action Aid sejak Desember 2018 juga telah menerima 11 kasus, diantaranya: 3 kasus kekerasan dalam rumah tangga, 4 kasus kekerasan seksual perempuan dan anak, 2 kasus penelantaran anak dan 1 kasus pernikahan anak.

Infografik aduan kasus yang masuk di Rumah Samporoa Mombine

Huntara Pemicu Terjadinya Kekerasan Seksual

Model konstruksi huntara yang menggunakan desain beberapa bilik dalam satu shelter adalah salah satu pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Desain huntara yang kecil, tanpa sekat dan bersambung antara penghuni satu dan penghuni lainnya membuat pasangan suami istri sulit melakukan pemenuhan biologis. Karena kesulitan menyalurkan hasrat biologisnya, mayoritas suami melampiaskannya dengan melakukan kekerasan fisik kepada pasangannya.

Desain huntara yang demikian juga membuat anak rentan terpapar kegiatan seksual orangtuanya. Hal ini akan berpengaruh pada psikologis anak dan membuat anak jadi dewasa sebelum waktunya. Lebih jauh, penempatan WC dan kamar mandi dihuntara yang tidak responsive gender menjadi tempat rawan terjadinya pengintipan dan pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak.

Keterbatasan Ekonomi Penyebab Perdagaan Perempuan dan Pernikahan Anak

Kondisi yang penuh keterbatasan dan ketiadaan lapangan pekerjaan di wilayah pengungsian membuat membuat perempuan menjadi korban perdagangan. Potensi perempuan di lokasi bencana Pasigala menjadi korban praktik perdagangan orang karena para pelaku memanfaatkan kondisi para korban bencana yang serba kekurangan.

Penyebab yang sama membuat sebagian orang tua atau wali menikahkan anak secara dini. Pernikahan anak ini di dorong oleh keinginan orang tua untuk melepas beban yang mesti di tanggung pascabencana. Terlebih diperkuat dengan kondisi huntara yang bebas membuat orang tua atau wali merasa cemas dan kesulitan mengontrol pergaulan anak. Sehingga daripada sang anak berbuat zina mending di nikahkan lebih dulu.

Beragam kasus-kasus ini sesungguhnya bak gunung es, yang terlihat hanyalah permukaannya. Apa yang terungkap hanyalah mereka yang melaporkan. Namun sebenarnya justru lebih banyak mereka yang tidak melaporkan

Oleh karena itu perlu ada upaya-upaya strategis untuk mengatasi persoalan-persoalan ini. Baik berupa upaya kuratif maupun upaya preventif. Menghadirkan rasa aman bagi perempuan dan anak di wilayah pengungsian pascabencana adalah tugas besar bagi kita semua!

Tinggalkan Balasan