Hutan dan Cerita dari Rano
Oleh: Stevandy
Hutan menjadi pelindung bagi warga Rano di pelosok Donggala Sulawesi Tengah. Desa yang berjarak 125 Kilometer dari Kota Palu ini dapat ditempuh dalam lima jam perjalanan dengan kecepatan normal.
Secara administratif, Rano berada dalam wilayah Kabupaten Donggala. Hanya saja untuk menuju Ibu Kota Kabupaten (melalui jalur darat), kita akan melalui Kota Palu (Ibu Kota Propinsi Sulawesi Tengah) yang berada tepat di tengah-tengahnya. Tidak heran bila Donggala saat ini terbagi menjadi dua bagian; timur dan barat. Rano sendiri berada di bagian barat.
Rano dihuni sekitar 1.430 jiwa dengan presentase perempuan mencapai 52 persen. Secara ekonomi, masyarakat di sana sangat menggantungkan hidup dari hasil-hasil hutan. Itu karena desa ini dikelilingi dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung. Beberapa hasil hutan yang ada antara lain:
Menjaga Warisan
Satu hal yang patut diapresiasi pada orang Rano adalah kebiasaan menjaga hutan. Bagi mereka, hutan adalah rumah. Hal ini senada dengan komentar Samin (51) yang pernah menjabat Kepala Desa sejak 2008-2022. Ia mengatakan kebiasaan jaga hutan sudah lama dilakukan. Hal itu karena kebutuhan hidup masyarakat berasal dari sana. Dalam mengelola hutan, tidak boleh melanggar beberapa ketentuan; misalnya menebang pohon, membuka lahan sembarangan dan sebagainya. Kalau itu dilakukan, akan mengancam keberadaan mereka. “Jangan rusak hutan. Karena kalau rusak, akan membawa bencana bagi desa”. Tutur Samin.
Selain hutan, di Rano terdapat juga Danau yang berada di tengah- tengah perkampungan. Danau yang dikeliling rumpun sagu itu makin menambah daya tarik bagi mereka yang datang.
Mengkutip tulisan Christopel Paino yang terbit di Mongabay tahun 2015 lalu, Danau Rano memiliki luas 280 Ha dengan kedalaman mencapai 80 M. Di dalam danau terdapat berbagai macam spesies ikan asli. Misalnya Mujair, Gabus, Sidat dan Kosa. Namun beberapa tahun belakangan spesies ikan makin bertambah saat Dinas kelautan dan Perikanan Donggala melakukan pelepasan ribuan benih ikan baru di Danau itu.
Untuk menjaga keasriannya, sampai sekarang masyarakat dilarang menggunakan mesin pengerak perahu di atas danau. Alasan itu berkaitan dengan cerita-cerita lokal yang ada sejak lama. Bagi saya cerita-cerita lokal sudah menjadi keumuman masyarakat Indonesia. Apalagi terkait suatu wilayah yang dilindung. Tapi bila ditarik ke ranah scientific,alasan-alasan itu bisa dirasionalisasi dengan penjelasan ilmiah. Misalnya saja pelarangan penggunaan mesin penggerak agar Danau tidak tercemar oleh tumpahan minyak.
Hal lain mungkin agar ekosistem Danau tidak terganggu dengan suara bising yang timbul dari mesin. Terlepas dari semua itu, penduduk Rano telah lama hidup berdampingan dengan alam. Mereka punya cara sendiri dalam mengelola dan melindungi wilayah mereka dari segala seusatu yang ada di sekitarnya.
Peninggalan Eropa
Dalam berbagai referensi sejarah, interaksi Eropa dengan nusantara (Sekarang Indonesia) sudah terjalin sejak abad ke-XVI; termasuk Portugis. Awalnya mereka (Bangsa Eropa) datang untuk mencari kebutuhan (rempah-rempah) yang kala itu laku dipasaran Eropa. Namun dalam berbagai literatur, tidak ada catatan mendalam yang mengatakan bahwa Portugis pernah masuk ke wilayah Sulawesi, secara khusus Sulawesi Tengah. Anehnya, cerita tentang Portugis telah menjadi bahan pembicaraan umum bagi penduduk Rano. Hal itu terbukti dari beberapa peninggalan yang menjadi saksi bahwa orang Rano pernah berinterkasi dengan Portugis. Misalnya saja Meriam yang ada di samping plakat kantor Desa Rano.
Cerita ini didapat dari Syamsu (87) salah satu tokoh masyarakat di sana. Ia menjelaskan bahwa orang Portugis datang ke Rano tidak begitu lama. Kedatang mereka tidak melakukan pendudukan seperti yang terjadi dibeberapa tempat–karena kebutuhan yang mereka cari mungkin tidak terdapat di Rano. “ Orang Portugis kase torang Meriam. Ada tiga. Cuma dua itu sudah diambil. Satu disimpan di Museum Palu, satunya lagi ada di Korem Tadulako”.
Ia menambahkan, selain Meriam, ada juga piring-piring kuno yang bertuliskan huruf Cina. Mungkin saja peninggalan itu milik dinasti Han abad ke-VI.
Berbagai referensi sejarah ini makin menambah daya tarik untuk berkunjung ke Desa Rano. Di satu sisi, ada baiknya para sejarawan dapat menggali informasi terkait interaksi Rano dengan Eropa yang telah dijelaskan sebelumnya. Ini bertujuan agar akurasi dan keilmiahan cerita itu dapat dipertanggung jawabkan sehingga terhindar spekulasi-spekulasi liar.
Awal Kemandirian dan Kolaborasi Pengetahuan
Tahun 2012 masyarakat Rano pernah dihadapkan dengan situasi genting. Hutan mereka terancam dengan kehadiran PT. Cahaya Manunggal Abadi yang hendak melakukan eksploitasi pertambangan (emas) di Desa. Tidak tangung-tanggung, perusahan mengklaim hampir 400 Ha masuk dalam konsesi pertambangan dengan dalih telah mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten.
Melihat ancaman yang kian nyata, masyarakat melakukan protes. Dimulai dari protes kecil, hingga menjadi protes dengan skala yang lebih besar. Alhasil, satu alat berat milik perusahaan dibakar warga. Ada banyak yang ditangkap saat peristiwa itu. Termasuk tujuh orang warga Rano yang masing-masing divonis sembilan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Donggala.
Syarif (31), seorang yang divonis bersalah saat itu menuturkan, ia ditangkap di depan rumah mantan Kepala Desa. Saat itu ia sedang berkumpul dengan beberapa orang warga desa. Tiba-tiba ia didatangi oleh orang berbadan tegap dan langsung membawanya. Tanpa perlawanan, ia diangkat dalam kendaraan milik mereka.
Bagi syarif, ini peristiwa yang tidak bisa ia lupa. “saya ditangkap karena mau pertahankan tanah desa. “Karena torang orang kecil, melawan perusahaan yang banyak uang, jadi dorang bisa bayar sana-sini, hasilnya kami yang disalahkan”. Tutur syarif.
Peristiwa tahun 2012 itu mengantarkan beberapa Organisasi Masyarakat Sipil Ke Rano. Mereka awalnya melakukan advokasi terkait kasus konflik yang ada. Kedatangan itu menjadi permulaan interaksi dengan penduduk desa Rano.
“Mereka datang membela, kasih kami pengetahuan hukum supaya torang bisa berani juga dan mampu mengembangkan diri”. Jelas Samin yang saat itu menjadi Kepala Desa.
Selain melakukan pembelaan, beberapa Organisasi Masyarakat Sipil yang hadir memberikan pengetahuan bagi mengembangkan potensi desa. Awalnya mereka mendirikan balai belajar sebagai pusat kolaborasi pengetahuan. Melalui petatihan-pelatihan ekonomi, penduduk dilatih menggembangkan dan membuat produk hasil Hutan. Kopi, Gula Aren, Pala, Ikan Gabus, Mujair dan sebagianya adalah potensi lokal yang dikembangkan saat itu.Tahun 2016, Pemerintah Indonesia mengeluarkan satu skema pengelolaan hutan di Indonesia lewat Permen LHk No. 83 Tahun 2016 Tentang Perhutanan Sosial. Skema ini adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara oleh masyarakat setempat sebagai pelaku utama. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan dengan berpedoman pada aspek kelestarian.
Hal ini dipandang sebagai peluang baik oleh Pemerintah Desa Rano dan beberapa Organisasi Masyarakat Sipil yang melakukan pengorganisasian di sana. Untuk mendorong peningkatan ekonomi dan menjaga kelestarian hutan, (termasuk menghindari ancaman pengrusakan alam) merekapun mengusulkan skema hutan desa di Rano.
Usaha yang sungguh-sungguh itu akhirnya membuahkan hasil. Tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Nomor : SK.4665/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/7/2018 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Pengelolan Hutan Desa Ovo Gayayapon Seluas ± 1.010. Adapun presentase luasan itu terbagi atas; 318 berada dalam kawasan hutan lindung, 343 pada kawasan hutan produksi terbatas dan 357 pada kawasan hutan produksi.
“Keputusan ini merupakan peluang dan capaian yang luar biasa dari perjuangan kami. Dengan begitu, kami dapat melindungi hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab”. Jelas Samin.
Hutan Untuk Kemandirian
Sejak diterbitkannya surat keputusan Nomor : SK.4665/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/7/2018 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Pengelolan Hutan Desa Ovo Gayayapon, aktifitas pemberdayaan ekonomi kian meningkat.
Aktifitas itu untuk memberikan pelatihan ekonomi kepada penduduk lokal dalam mengembangkan potensi yang ada. Selain diberikan pelatihan dalam pengembangan usaha, warga desa juga diberikan pelatihan dalam pemasaran produk yang mereka hasilkan. Pemasaran itu dilakukan hingga sekarang. Beberapa kelompok Usaha Perhutanan Sosial yang dibentuk antara lain :
- KUPS Harapan Baru
- KUPS Mantao Hembiti
- KUPS Maju Sejahtera
- KUPS Majaya
- KUPS Masanang Hembiti
KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial) adalah kelompok usaha yang berada dalam struktur Lembaga Pengelolah Huta Desa (LPHD). Kelompok ini secara resmi diakui dalam pengelolaan hutan Desa. Secara kelembagaan, LPHD berkoordinasi dengan KPH (Kesatuan Pengelolah Hutan) Dolagu Tanggunung. Ini untuk memastikan segala aktifias implementasi pengelolaan hutan terlaksana dengan baik. Lebih jelasnya bisa lihat tabel berikut:
Partisipasi Perempuan dan Manfaat Bagi Mereka
Sebelum diterbitkannya SK Nomor : SK.4665/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/7/2018 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Pengelolan Hutan Desa Ovo Gayayapon, keterlibatan perempuan dalam berbagai aktivitas di Rano sudah sangat tinggi. Terbukti dari beberapa kali pertemuan dan pelatihan yang dibuat di Desa, hampir semua didominasi oleh Perempuan. Hal ini berbanding lurus dengan keterlibatan perempuan dalam KUPS. Dari 64 orang yang terlibat, 33 orang adalah perempuan.
Anita (42) yang terlibat dalam kelompok Mantao Hembiti (Gula Aren) menerangkan, ia sudah terlibat dalam kelompok usaha sejak pertama kali dibentuk. Awalnya dia diajak oleh beberapa rekan untuk ikut dalam pelatihan yang dibuat oleh Sikola Mombine (Organisasi Mayarakat Sipil). Hal itu ia lakukan untuk mendapatkan pengetahuan dalam mengembangkan ekonomi.
Beberapa tahun terlibat, ia telah merasakan dampak positif. Menurutnya, ada banyak pengetahuan yang didapat dalam mengembangkan potensi desa. “Sangat bermanfaat pak. Dulu saya ini tidak punya penghasilan tetap. Saya tidak tahu mau berusaha apa di sini. Tapi setelah ada KUPS, kemudian diajari sama teman-teman Sikola Mombine, saya mulai banyak pengetahuan. Ternyata torang pe daerah ini kaya. Ada hutan, Danau yang bisa torang kembangkan untuk meningkatkan ekonomi. Alhamdulilah setelah lama berproses, ekonomi keluarga sedikit-demi sedikit meningkat. Saya juga sudah bisa sekolahkan anak sampai kuliah. Tapi sebenarnya bukan hanya ekonomi yang mau dilihat ini pak. Yang paling penting dari semua itu ilmu. Karena kalau torang tidak diajari, pasti torang tidak bisa buat apa-apa”. Jelas Ibu Anita.
Ia menambahkan, saat ini kelompok dapat memproduksi dua sampai tiga kali seminggu. Setiap kali produksi bisa menghasilkan 10 sampai 15 bungkus Gula Aren. Hasilnya dijual pada masyarakat sekitar.
Menurut Anita, saat ini masih terdapat sedikit masalah dalam proses produksi. Itu berkaitan dengan modal usaha yang masih terbatas. Mereka melakukan produksi bila hasil produksi pertama sudah terjual. Jadi perputaran modal agak melambat. Selain itu, dalam proses pembuatan, beberapa orang belum sepenuhnya mengerti tupoksi kerja masing-masing, sehingga ini menjadi hambatan. Kedepan mereka akan memperbaiki hal-hal tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh Erna (50) Perempuan yang terlibat dalam Kelompok Usaha Maju Sejahtera yang memproduksi Bubuk Kopi. Namun sebelum menceritakan proses produksi Kopi dari KUPS Maju Sejahtera, kita perlu tahu sejarah kebun kopi di Desa Rano.
Kopi bukan tumbuhan asli Indonesia. Komoditas ini diperkenalkan di Sulawesi Tengah sekitar tahun 1916 saat Belanda melakukan ekspansi ke Palu Sulawesi Tengah. Tanaman kopi masuk di Rano sekitar tahun 1950 ketika seorang warga Desa datang dari Palu membawa bibit Kopi hasil pembagian Pemerintah. Bibit kopi tersebut ia tanan di kebun pribadinya.
Saat itu permintaan kopi sangat tinggi sehingga harganya meningkat. Informasi itu dengan cepat tersebar kepada masyarakat Rano dan mendorong mereka berbondong-bondong menanam kopi. Seiring berjalannya waktu harga kopi mulai menurun. Ini karena masyarakat di beberapa tempat juga telah menanam kopi. Hal itu akhirnya mengakibatkan over produksi.
Kelimpahan komoditas kopi saat itu mendorong lahirnya sortirisasi (pemilihan kualitas). Artinya, hanya komoditas baiklah yang dibeli dengan harga tinggi. Komoditas dengan kualitas baik sudah tentu dibekali dengan teknologi dan pengetahuan pengelolaan yang baik. Dan hal itu memerlukan modal yang tidak sedikit. Akibatnya, dengan segala keterbatasan, warga Rano tidak mampu bersaing. Kopi yang tadinya ditanam tidak lagi terawat dan telah menjadi hutan. Inilah yang melahirkan istilah hutan Kopi di desa Rano.
Sebagai upaya untuk kembali mengembangkan potensi yang sudah ada itu, KUPS Maju Sejahtera yang dibantu oleh Sikola Mombine kembali mengembangkan komoditas kopi. Dimulai dari distribusi pengetahuan kepada warga, memberikan bantuan modal awal, akhirnya mereka dapat mengembangkan produk itu hingga sekarang.
Saat ini mereka dapat memproduksi sampai 4 kilo bubuk kopi dalam seminggu. Mereka mengemas bubuk dalam satu kemasan yang masing-masing kemasan memiliki berat 100 gr. Proses produksi itu dilakukan disalah satu rumah warga agar lebih memudahkan proses pengerjaan.
Setelah pengemasan, produk itu dipasarkan. Ada dua metode pemasaran yang mereka lakukan. Pertama; penjualan langsung. Produk itu dijual atau dititipan ke kios-kios yang ada di desa atau sekitar desa. Bila ada warga yang hendak keluar desa, maka jualan itu dititip kepada mereka.
Kedua, Penjualan Online. Penjualan ini dilakukan menggunakan instrument media sosial. Hanya saja terkadang persoalan jaringan menjadi hambatan dalam proses penjualan ini. Jadi hal itu terkadang masih dibantu oleh rekan-rekan Sikola Mombine. Selain memproduksi hasil hutan, di Rano terdapat satu kelompok yang melakukan aktivitas usaha dengan mengembangkan potensi Danau. Kelompok ini memproduksi abon ikan. Adapun jenis ikan yang dibuat abon adalah jenis Ikan gabus dan mujair. Tapi karena harga ikan gabus sekarang mahal dan susah didapat, maka bahan dasar pembuatan ini beralih sepenuhnya ke ikan mujair.
Riswina (27) yang juga tergabung dalam kelompok ini menerangkan bahwa, hasil produksi mereka telah terpasarkan luas, bahkan telah sampai ke Kalimantan. Saat ini mereka memiliki 1 varian rasa. kedepan mereka akan mengembangkan menjadi tiga varian rasa; Manis, Pedas dan Original.
Dalam proses produksi itu, masih dilakukan dengan cara-cara tradisional. Mulai dari proses pengukusan, pengolahan rempah-rempah sampai proses pengemasan. Setiap orang dalam kelompok bertanggung jawab dalam setiap tugas, sehingga proses bisa berjalan dengan baik.
Penggambaran proses penggolahan itu dapat terlihat pada alur di bawah ini :
Energi Positif Dari Velin
Cerita tentang Rano tidak lengkap tanpa membicarakan sosok Velin. Perempuan 28 tahun ini memiliki keterbatasan fisik sejak lahir (Disabilitas). Tapi keterbatasan itu tidak menghalanginya untuk menularkan energi positif pada orang lain.
Velin lahir di Rano 30 September 1994. Sejak bangku sekolah ia sudah terlibat aktif dalam berbagi kegiatan. Ia terlibat dalam kegiatan ekstrakulikuler sekolah dibidang olahraga. Banyak orang mengira keterbatasan Velin akan menghalanginya dalam beraktifitas. Namun anggapan itu dibantah oleh Velin dengan berbagai karya.
Lulus Sekolah Menengah Atas Velin melanjutkan studi pada Perguruan Tinggi Swasta di Kota Palu. Cita-citanya adalah menjadi seorang Sarjana yang sejak dulu ia impikan.
Sayang, impian Velin menjadi Sarjana terhenti. Persoalan biaya menjadi alasan utama. Di saat yang sama ayah Velin jatuh sakit sehingga biaya kuliah yang selama ini ditopang keluarga harus teralihkan untuk pengobatan ayahnya. Ini menjadi pukulan berat baginya. Padahal sebentar lagi ia akan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Dengan kondisi kecewa, Velin memutuskan untuk berhenti kuliah. Baginya, merawat orang tua adalah hal utama. “Saya dibesarkan, dirawat sejak kecil oleh orang tua, apalagi dengan keterbatas seperti ini, pasti bukan persoalan mudah”. Cerita Velin.
Sebelum kembali ke Rano, Iya sempat menjadi pekerja lepas di Palu. Ini dilakukan untuk membantu biaya berobat Ayahnya. “Saya kerja bantu Papa. Mungkin cuma ini yang bisa saya balas untuk saya punya orang tua”.
Tak lama bekerja, Velin akhirnya kembali ke Rano. Selain merawat ayahnya, Velin juga tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan dunia Fotografer. Minat yang besar itu mengantarkan Velin mengikuti pelatihan Photografer bagi kelompok Disabilitas di Makkasar mewakili Kabupaten Donggala tahun 2019. Setelah mengikuti pelatihan itu, ia kembali terpilih mengikuti kelas lanjutan dalam bidang yang sama. Kali ini pelatihan itu dilaksanakan di Cibinong, Bogor. Dengan bekal pengetahuan itu, akhirnya ia mulai beraktivitas di Desa Rano.
Velin mulai tertarik dengan Isu pelibatan kelompok muda dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa Rano. Hal ini ia dapat saat mengikuti berbagai kelas belajar yang dilakukan oleh Yayasan Sikole Mombine di sana.
“Mulai dari kelas kewirausahaan dan perhutanan sosial, dia serius mengikutinya. Bahkan dia salah satu yang aktif selama kelompok belajar itu dilakukan”. Tutur Fitri yang saat ini menjadi Direktur Sikola Mombine.
Sampai sekarang Velin terlibat dalam balai belajar desa yang dibentuk oleh Sikola Mobine. Atas keaktifan itu, ia dipilih untuk membantu penyusunan rencana Kelompok Usaha melalui konsep BMC (Basnis Model Canvas). Ketertarikan atas hal itu, Velin akhirnya berinisiatif membentuk satu KUPS di Desa Rano.
September 2022, KUPS Masanang Hembiti resmi berdiri. KUPS ini lahir atas inisiatif dari Velin. Ia mengajak 20 orang (yang sebahagian besar perempuan) untuk mengelola minyak kelapa kampung di Desa Rano.
Masanang Hembiti adalah salah satu KUPS dengan produksi yang relatif stabil. Awalnya kelompok ini mengumpulkan modal secara mandiri. Mereka mengumpulkan buah kelapa untuk diproduksi. Masing-masing orang mengumpulkan 5 Biji kelapa dan uang Rp.1.000 rupiah untuk keperluan bahan bakar minyak. Mereka melakukan produksi secara mandiri terus menerus. Dari awal berdiri, September 2022 hingga November 2022, mereka telah berhasil memproduksi 50 liter minyak kelapa kampung yang dijual dengan harga 45 Ribu/ 300 ml.
Velin Menggerakan Mereka
Selain terlibat dalam pembentukan KUPS Masanang Hembiti, Velin juga terlibat dalam pengorganisiran anak muda Rano. Informasi ini saya dapat dari Viki (27) Ketua KUPS Majaya. “Saya dulu tidak terlalu terlibat dalam agenda-agenda pemuda di Desa. Cuma karena Velin ajak saya ba cerita, akhirnya saya terdorong untuk berkontribusi”. Jelas Viki.
Viki juga menambahkan bahwa, KUPS Majaya lahir atas inisiatif Velin. Mereka berdiskusi tentang potensi desa yang bisa dikembangkan. Tentu, pengembangan itu untuk meningkatkan ekonomi pemuda yang saat ini belum punya pekerjaan tetap.
Anggota KUPS Majaya, Ghofur (27) turut mempertegas argumentasi Viki. Menurutnya KUPS Majaya dapat memberdayakan pemuda desa melalui program Ekosiwata. “Ini supaya bisa berdayakan teman-teman pemuda. Supaya dorang bisa dapat kerja, ibu-ibu di desa bisa memasarkan produknya, jadi torang ba undang orang untuk datang.” Tutur Ghofur.
Saat ini mereka sedang mendorong usulan kepada Pemerintah Desa agar Program Ekowisata dapat diakomodir dalam Program Pembangunan Desa Tahun 2023. Mereka terus mengawal dan mempersiapkan beberapa hal penting lainnya untuk menunjang program Ekowisata nantinya.
Selain mendorong program Ekowisata di Desa Rano, KUPS Majaya juga fokus pada patroli hutan. Ini adalah program anak muda yang sudah ada sejak tahun 2019. Dalam implementasinya, mereka melakukan monitoring hutan untuk memastikan tidak ada aktivitas masyarakat yang merusak hutan. Terakhir patroli ini dilakukan tahun bulan September 2022 lalu. Memang waktu patroli sifatnya tentatif. Kapan perlu Patroli, maka KUPS Majaya akan berkoordinasi dengan KPH Dolagu Tanggunung dan para pemangku adat di Desa. Ini agar dalam kegiatan itu, terdapat jaminan dari negara dan pemangku adat.
Kontribusi dan pengalaman Velin di Desa Rano dapat menjadi contoh baik bagi kita. Dengan keterbatasan fisik, ia mampu membongkar prasangka-prasangka buruk terhadap mereka. Mampu berkarya, bahkan menyumbang energi positif bagi orang lain adalah sesuatu karunia yang tidak semua orang mampu lakukan. Semoga apa yang menjadi cita-cita Velin bisa terwujud. Termasuk melanjutkan Kuliah yang sempat tertunda sebelumnya.
Penutup
Cerita tentang Rano mungkin tak akan pernah habis. Sejarah, hutan, perempuan, adat dan sebagainya sudah menjadi cerminan masyarakat di sana. Dorongan skema pengelolaan hutan desa telah memberikan banyak manfaat. Ekonomi meningkat, kesadaran lingkungan termasuk solidaritas sesama warga.
Sekalipun begitu, berbagai macam persoalan masih bisa terjadi. Tapi dengan mitigasi dan perencanaan yang tepat, resiko-resiko dari beberapa persoalan mungkin bisa dihindari. Paling tidak mereka (masyarakat) Rano telah terbiasa berkumpul dan membicarakan masalah secara bersama-sama. Ini modal yang baik untuk kedepannya.
Cerita Velin bisa menjadi pelajaran berharga. Semangat dan harapan besar adalah satu hal yang perlu terus dipelihara. Seperti kata pepatah, “Hasil tak akan menghianati proses”. Bila kita bersungguh-sungguh, pasti kita akan mendapatkan hasil yang baik.
Kita akan terus bersama masyarakat Rano. “Bagi kami, Rano sudah kampung kedua. Kami terus berupaya sekuat tenaga untuk bersama-sama dalam mewujudkan hal-hal baik bagi mereka dan generasi akan datang. Semoga semua itu dapat terwujud’’. Tukas Fitri Direktur Sikola Mombine.