• Post author:
  • Post category:Blog
  • Post comments:0 Comments

Belum lama ini terjadi kasus KDRT yang dialami oleh salah seorang selebgram yang tengah menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Selebgram tersebut membagikan kisah pahit pernikahannya yang telah berlangsung selama lima tahun hingga dikaruniai tiga anak. Dia mengungkapkan bahwa KDRT bukanlah hal baru baginya, dan dia telah menyimpan puluhan rekaman video sebagai bukti kekerasan yang dilakukan suaminya.

Apa yang dialami selebgram tersebut bisa jadi merupakan sebuah fenomena gunung es, dimana terdapat lebih banyak kasus serupa di Indonesia yang tidak terungkapkan. Siapapun diantara kita, termasuk orang-orang terdekat disekitar kita, dapat menjadi pelaku maupun korban KDRT.

Demi mencegah terjadinya kasus serupa perlu adanya edukasi yang masif seputar seluk beluk KDRT, tindakan apa yang perlu kita lakukan dan bagaimana cara mencegahnya. Berikut kami rangkum semua hal yang perlu kamu ketahui tentang KDRT!

Apa itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?

KDRT, atau domestic violence, adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam lingkup pribadi. Kekerasan ini sering terjadi dalam hubungan interpersonal, di mana pelaku biasanya adalah seseorang yang akrab dan dekat dengan korban, seperti kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, atau kakek terhadap cucu. Kekerasan ini juga dapat terjadi dalam hubungan pacaran atau dialami oleh pekerja rumah tangga yang tinggal bersama keluarga tersebut. Selain itu, KDRT juga diartikan sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.

Pasal 1 UU PKDRT mendefinisikan KDRT sebagai,

… perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Apakah sudah ada peraturan terkait KDRT?

Ya, sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang telah berlaku selama 16 tahun dan diterapkan dalam upaya pencegahan serta penanganan korban kekerasan, khususnya perempuan.

Undang-undang ini merupakan bentuk perlindungan negara untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga, memberikan sanksi kepada pelaku, dan melindungi korban kekerasan [UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (2)].

Apa tujuan dibentuknya UU PKDRT?

Tujuan UU PKDRT, seperti yang tercantum dalam Pasal 4, adalah:

  1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
  2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
  3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
  4. Mempertahankan keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Siapa saja yang tercakup dan dilindungi oleh UU PKDRT?

Pasal 2 UU PKDRT menyatakan bahwa lingkup undang-undang ini tidak hanya melindungi perempuan, tetapi juga:

  • Suami, istri, dan anak;
  • Orang-orang dengan hubungan keluarga melalui darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, serta mereka yang tinggal dalam rumah tangga;
  • Pekerja rumah tangga yang tinggal bersama keluarga tersebut.

Siapa saja yang dapat menjadi korban KDRT?

Korban KDRT adalah setiap orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga [UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (3)].

Apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam KDRT?

Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (General Recommendation No. 19 (1992) CEDAW Committee) menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender mencakup berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual, yang terjadi karena adanya ketimpangan berbasis gender dan jenis kelamin dalam masyarakat.

Bentuk-bentuk kekerasan yang tercantum dalam UU PKDRT mencakup:

  • Kekerasan fisik (Pasal 6)
  • Kekerasan psikis (Pasal 7)
  • Kekerasan seksual (Pasal 8)
  • Penelantaran rumah tangga (Pasal 9)

Apakah korban KDRT memiliki hak-hak tertentu?

Berdasarkan Pasal 10 UU PKDRT, korban KDRT memiliki hak-hak sebagai korban, termasuk:

  • Perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan perintah perlindungan dari pengadilan;
  • Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  • Penanganan khusus yang menjamin kerahasiaan korban;
  • Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tahap proses pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  • Pelayanan bimbingan rohani.

Apa kewajiban masyarakat terkait KDRT?

Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib berupaya, sesuai dengan batas kemampuannya, untuk:

  • Mencegah berlanjutnya tindak pidana;
  • Memberikan perlindungan kepada korban;
  • Memberikan pertolongan darurat;
  • Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Apa saja dampak KDRT terhadap anak?

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kekerasan sangat rentan dan berada dalam bahaya karena beberapa kemungkinan berikut:

  • Anak-anak mungkin menjadi korban kekerasan langsung dari ayah yang menganiaya ibu mereka.
  • Ibu yang mengalami kekerasan dari pasangan hidupnya mungkin melampiaskan kemarahan dan frustrasinya pada anak-anak.
  • Anak-anak bisa cedera secara tidak sengaja saat mencoba menghentikan kekerasan atau melindungi ibu mereka.
  • Anak-anak akan kesulitan mengembangkan rasa aman, ketenangan, dan kasih sayang. Mereka akan hidup dalam kebingungan, ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan ketidakpastian tentang masa depan. Akibatnya, mereka tidak belajar mencintai dengan tulus atau menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat.
  • Anak-anak yang terbiasa hidup dalam kekerasan mungkin akan melihat kekerasan sebagai cara yang wajar, sah, dan bahkan diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Anak laki-laki dapat tumbuh menjadi pria dewasa yang juga menganiaya istri dan anak-anaknya, sementara anak perempuan dapat menjadi korban kekerasan atau mengembangkan kebiasaan agresif dalam menyelesaikan masalah.

Siapa saja yang dapat menjadi pelaku KDRT?

Pelaku KDRT dapat berasal dari dua kategori: pelaku negara dan pelaku non-negara.

  • Pelaku non-negara: Ini bisa termasuk suami, pasangan, ayah, ayah mertua, ayah tiri, paman, anak laki-laki, atau anggota keluarga laki-laki lainnya.
  • Pelaku negara: Meskipun memiliki peran formal sebagai aktor negara, mereka mungkin menyalahgunakan posisi mereka untuk mengabaikan atau membiarkan kasus KDRT terjadi, menghambat akses perempuan terhadap layanan, bantuan, dan keadilan. Sebagai kekerasan berbasis gender, korban utama biasanya perempuan, meskipun mungkin ada perempuan yang juga menjadi pelaku KDRT.

Apa saja sanksi dan tindakan yang dikenakan kepada pelaku KDRT?

Sanksi bagi pelaku KDRT diatur dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, terutama pada Pasal 44-53. Sanksi-sanksi ini mencakup:

  • Kekerasan fisik berat yang menyebabkan korban jatuh sakit atau luka berat: hukuman maksimal 10 tahun penjara.
  • Kekerasan fisik yang menyebabkan kematian korban: hukuman maksimal 15 tahun penjara.
  • Kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang menyebabkan korban tidak sembuh, hilang ingatan, atau kematian janin dalam kandungan: hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Apa tugas dan tanggung jawab pemerintah?

Pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), memiliki tanggung jawab utama dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Tugas dan tanggung jawab pemerintah meliputi:

  • Merumuskan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
  • Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
  • Melakukan sosialisasi dan advokasi terkait kekerasan dalam rumah tangga.
  • Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang sensitif gender.
  • Menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

Apa hambatan dalam implementasi UU PKDRT?

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan pada tahun 2014, beberapa hambatan dalam implementasi UU PKDRT meliputi:

  1. Kurangnya pemahaman komprehensif terhadap filosofi dan tujuan UU PKDRT, sehingga implementasinya seringkali mengabaikan perlindungan bagi perempuan korban.
  2. Kesulitan dalam memahami makna penelantaran rumah tangga, terutama karena adanya kebingungan antara definisi hukum dan pemahaman sehari-hari tentang penelantaran.
  3. Kendala dalam pelaksanaan perlindungan sementara dan penetapan perlindungan, yang disebabkan oleh kurangnya kebijakan operasional yang mendukung.
  4. Hukuman tambahan berupa program konseling bagi pelaku tidak dijatuhkan, karena belum ada kejelasan mengenai lembaga yang memiliki mandat untuk melakukan konseling.

Apa praktik pelaksanaan UU PKDRT sepenuhnya telah membantu korban?  

Pada praktiknya juga terjadi kriminalisasi terhadap korban (kekerasan terhadap istri). Data pengaduan Komnas Perempuan dari 2011 hingga Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami kriminalisasi, 10 persen diantaranya dikriminalkan melalui Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dalam pembahasan tentang temuan akan didiskusikan bagaimana undang-undang ini juga digunakan bukan untuk melindungi perempuan tapi malah mengkriminalkan perempuan.

Bagaimana Angka KDRT yang ada saat ini? 

Data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada tahun 2020, mencatat bahwa KDRT atau Ranah Personal masih menempati pada urutan pertama dengan jumlah 75,4% dibandingkan dengan ranah lainnya. Sedangkan bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang tertinggi adalah kekerasan fisik berjumlah 4.783 kasus. Dari 11.105 kasus yang ada, maka sebanyak 6.555 atau 59% adalah kekerasan terhadap istri. Kekerasan terhadap anak perempuan juga meningkat 13%, dan juga kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Diantara kasus KDRT tersebut didalamnya ada kekerasan seksual (marital rape dan inses). Kasus kekerasan seksual di ranah personal yang paling tinggi adalah inses dengan jumlah 822 kasus.

Bagaimana untuk mendapatkan layanan bagi korban KDRT? 

Layanan bagi pengaduan dan penanganan korban KDRT dapat ditujukan kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang terdapat di berbagi provinsi. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) ini berada langsung di bawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Informasi kontak pengaduan dan layanan bagi korban terdapat di website ini

Referensi

  • Komnas Perempuan. Menemukenali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/menemukenali-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt
  • Komnas Perempuan, 2002, Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia. Komnas Perempuan, Jakarta, Komnas Perempuan
  • Komnas Perempuan, 2011, (SOP) Standard Operation Procedure Sistem Penerimaan Pengaduan Komnas Perempuan, Jakarta, Komnas Perempuan
  • Komnas Perempuan, 2018, Urgensi Mempercepat Optimalisasi dan Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kajian bersama Antar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan didukung oleh UN Women, Jakarta, Komnas Perempuan
  • Komnas Perempuan, 2020, Catatan Tahunan (CATAHU) 2020. Komnas Perempuan, Jakarta, Komnas Perempuan

Tinggalkan Balasan