Penulis: Fiani Rizky
Nama saya adalah Fiani Rizky, S.Psi. Saat ini saya menginjak usia 24 tahun. Saya lulus di tahun 2018 sebagai mahasiswi Universitas MercuBuana Yogyakarta. Pascabencana yang melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman saya: Kota Palu, Sulawesi Tengah. Kepulangan saya kali ini terasa begitu berbeda disebabkan keindahan kotaku yang dulu rasanya telah berubah menjadi kehancuran dan penderitaan. Banyak orang yang kehilangan keluarganya, adapula yang kehilangan harta bendanya, saya adalah satu diantara banyaknya korban yang juga mengalami hal tersebut. Rumah yang telah saya dan keluarga tempati selama 10 tahun kini harus saya tinggalkan karena kondisinya yang tidak lagi layak. Perasaan saya penuh dengan rasa hancur dan juga sedih tentunya, bahkan saya sempat menyalahkan Tuhan atas kejadian ini. Namun, saat melihat orang-orang yang jauh lebih menderita daripada saya, dimana mereka harus kehilangan tempat tinggal, sanak keluarga dan kerabat, membuat sayapun menyadari dan bersyukur karena masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berkumpul dengan keluarga dalam keadaan yang utuh; tanpa kurang sesuatu apapun.
Di bulan Desember 2018, saya memutuskan untuk melamar kerja di salah satu Yayasan di Kota Palu yakni Yayasan Sikola Mombine dengan tawaran posisi sebagai Konselor. Saya berharap agar bisa mendapatkan posisi tersebut sebab latar belakang pendidikan saya sebelumnya adalah Ilmu pengetahuan Psikologi. Saya melalui segala tahapan untuk bisa mewujudkan segala harapan saya menjadi konselor. Setelah proses wawancara berakhir, tak berselang lama sayapun dihubungi oleh pihak Yayasan Sikola Mombine yang memberitahukan bahwa saya diterima bekerja sebagai Konselor. Selama 1 bulan bekerja menjadi konselor, saya memulai dengan menangani kasus pertama, yakni Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Sebagai seorang konselor yang belum menikah, tentu ini menjadi tantangan baru bagi saya. Hal ini menjadi kekhawatiran bagi saya hingga saya berbisik dalam hati,
Apakah saya mampu menjadi konselor yang Profesional?
Saya terbilang orang yang sensitif dan mudah sekali mengeluarkan airmata apabila melihat orang lain menderita. Ketika seseorang datang pada saya untuk mendengarkan ceritanya, tentu saja saya dengan segenap upaya berusaha untuk tidak meneteskan airmata saya di depan orang yang ingin menjadi pendengar dan ingin dikuatkan oleh saya. Bagi saya ini adalah hal yang sulit untuk tidak melepaskan air mata saya ketika saya sebagai seorang perempuan yang saat itu diperhadapkan dengan perempuan lainnya; turut mendengar kisah-kisah pilu dari perempuan korban kekerasan.
Seiring waktu berjalan, sayapun mulai terbiasa untuk mengontrol perasaan saat melakukan konseling. Meskipun di setiap malam, saya selalu menangis dengan terisak-isak bila membayangkan kisah-kisah perempuan korban kekerasan yang datang pada saya. Hal ini membuat saya sempat merasa takut untuk menikah, sebab selama ini, korban yang sering saya jumpai dalam melakukan konseling adalah perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Sebagai seorang konselor, saya tak bisa memungkiri bahwa sayapun membutuhkan tempat dan penguatan bagi diri saya sendiri untuk bisa lebih kuat menjadi seorang konselor dan mampu menguatkan perempuan yang lainnya. Sebab saya percaya, bahwa perempuan yang kuat mampu menguatkan perempuan yang lain. Maka saya memilih untuk menjadi lebih kuat dari apa yang saya pikir sebelumnya.