Direktur Yayasan Sikola Mombina, Nur Safitri Lasibani, menantang para calon kepala daerah yang akan bersaing dalam Pilkada Serentak 2024 untuk menyusun visi misi yang berperspektif gender dan mencakup isu-isu inklusif. Tantangan ini disampaikan saat menjadi narasumber dalam sosialisasi penyusunan visi misi dan program bakal pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), di Palu, Selasa (23/07).
Selain isu gender dan inklusi, Safitri juga menantang para calon untuk menyertakan program yang terkait dengan perubahan iklim, energi terbarukan, dan berbagai isu lainnya. Ia juga mendorong semua pihak untuk memilih calon yang memiliki perspektif dan komitmen yang baik terhadap isu-isu gender dan inklusi.
“Kami menantang para calon kepala daerah untuk mengangkat narasi-narasi besar ini dalam visi misi mereka, serta dalam debat dan kampanye mereka nanti,”
ujar Safitri.
Pada kesempatan tersebut, Safitri memaparkan beberapa isu strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 terkait gender dan inklusi yang bersumber dari Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak Pemuda, dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas.
Pertama, ia menyoroti belum optimalnya peran dan fungsi keluarga yang berpotensi menyebabkan krisis moral dan karakter di kalangan generasi muda.
“Ini ditandai oleh perkawinan yang tidak tercatat, perkawinan anak, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, kurangnya afeksi dan kelekatan antar anggota keluarga, serta lemahnya kemampuan dalam menanamkan nilai-nilai positif,” jelasnya.
Safitri juga menyoroti rendahnya penerimaan dan pengakuan terhadap anggota keluarga disabilitas, serta kurangnya kapasitas dan keterampilan keluarga dalam merawat dan mendorong kemandirian anggota keluarga disabilitas dan lansia.
Isu lainnya adalah pemenuhan hak dan perlindungan anak, pemuda, perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia yang belum optimal. Isu ini ditandai dengan lemahnya karakter dan resiliensi, tingginya perilaku berisiko dan gangguan kesehatan mental, serta rendahnya kapasitas dan kemandirian.
“Belum optimalnya partisipasi dalam berbagai bidang pembangunan. Masih tingginya risiko kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi,” tambahnya.
Selanjutnya, ia menyoroti ketimpangan gender yang masih tinggi, yang menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan pembangunan yang inklusif. Isu ini ditandai oleh rendahnya pengakuan terhadap pekerjaan pengasuhan/perawatan tak berbayar (unpaid care work), tingginya kekerasan berbasis gender, dan stagnasi partisipasi angkatan kerja perempuan.
“Juga rendahnya representasi perempuan dalam jabatan strategis dan pengambilan keputusan. Perempuan masih tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan,” jelasnya.
Terakhir, ia menyoroti bahwa kesetaraan gender dan pembangunan yang inklusif semakin sulit terwujud karena masih adanya norma sosial budaya yang mempertahankan diskriminasi dan perlakuan salah. Hal ini ditandai oleh stereotipe peran gender laki-laki dan perempuan, maskulinitas negatif, dan ketidaksetaraan relasi.
“Stigma terhadap perempuan penyandang disabilitas dan lansia, serta praktik bias gender dalam keluarga dan masyarakat,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua KPU Palu, Idrus, menyatakan bahwa dalam sosialisasi tersebut, pihaknya mengundang narasumber yang diharapkan dapat menyentuh aspek tanggung jawab terhadap isu gender dan inklusi.
“Kenapa? Karena pembangunan dan prinsip pembangunan itu sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu, salah satunya inklusif. Kita harus memperlakukan semua orang setara dan sama, tanpa membedakan warna kulit atau golongan. Namun jika itu hanya diwacanakan, tanpa dimasukkan dalam visi misi, apa yang akan dilakukan oleh calon terpilih selama 5 tahun ke depan?”
Ujar Idrus
[End]
Penulis: Satrio Amrullah | Editor: Satrio Amrullah