“Kalau cita-cita sih ya tinggi sekali. Memang cita-cita (saya) ingin mewakili rakyat lah, karena memang selama ini saya melihat masyarakat itu selalu tertindas, apalagi yang miskin”
Ibu Hijria, Palu
Setiap pulang kampung ke Siboli, Ibu Hijria tak habis pikir, mengapa banyak warga yang selalu menyampaikan keluhan kepadanya. Macam-macam keluhannya, termasuk soal kinerja pemerintah desa. “Saya pikir masyarakat itu menginginkan perubahan, masyarakat menginginkan keadilan” ujarnya.
Berangkat dari kesadaran ini, Ibu Hijria kemudian mencalonkan diri menjadi Kepala Desa. Tak dinyana, niatnya mendapatkan penolakan karena urusan domisili. Ibu Hijria yang menurut KTP berdomisili di Palu, tak bisa mencalonkan diri menjadi kepala desa di desa Siboli, di kabupaten Sigi. Ia sempat mengadukan kasusnya ke ketua DPRD, namun ketua DPRD pun menyerahkan kepada BPD desanya. Tak bisa berbuat banyak, BPDpun menyerahkan keputusannya kembali ke panitia pemilihan.
Kesulitan perempuan masuk ke ruang-ruang publik memang beragam. Ibu Hijria, selain mengalami tak bisa mencalonkan diri karena persoalan administrasi kependudukan, juga seringkali merasa diremehkan, “kan sering juga dikatakan, ah… dia bisa apa. Dia kan perempuan. Laki-laki saja tidak bisa, apalagi perempuan. Jadi saya juga tantang, ah… untuk jadi seorang kepada desa bukan adu otot ya, tapi adu otak. Saya tantang begitu, padahal sebenarnya saya juga belum terlalu pengalaman….”ujarnya.
Kini dengan bekal pendidikan politik yang didapatnya di Sikola Mombine, dan permintaan dari warga, Bu Hijria berencana mencalonkan diri lagi menjadi anggota BPD di desanya. Baginya ini adalah langkah awal menuju cita-citanya untuk berkiprah di politik menjadi wakil rakyat.
Ibu Sumarni punya masalah berbeda. Bukan tokoh masyarakat membuatnya kerap tak diundang di rapat-rapat desa. Ia merasa hanya orang penting yang diundang saja.
”Kita ibu-ibu begini kan ingin tahu tho apa sebenarnya masalah-masalah yang dibahas, dipermasalahkan di kelurahan atau kecamatan.” ujarnya.”Tak perlu lah warga terkaget-kaget karena tiba-tiba ada pembangunan drainase.” Ia pernah bertanya kepada salah satu tokoh masyarakat yang selalu diundang hadir. Jawabannya klise.”Ada waktunya yang undangan tidak boleh masuk, ada yang boleh masuk.” Ia pun tidak mendapatkan jawaban, mengapa hanya segelintir warga yang diundang untuk membicarakan desanya.
Padahal, menurutnya, ia banyak hal yang perlu dibicarakan langsung dengan warganya yang mengalami persoalan langsung.”Jadi masalah tentang perkembangan desa, kita tidak tahu kan…” katanya lagi.
Bagi ibu Sumarni masalah ini krusial. Karena seringkali pembangunan direncanakan sembarangan dan tidak memenuhi kebutuhan. Ibu ….sebenarnya ingin mengadukan masalah MCK yang telah dibangun dengan biaya 3 juta per buah itu, salah satunya tidak memiliki air, karena sumber air berada di jauh di bawah.” Saya ini orang bodoh, tapi setelah saya mengikuti SM (Sikola Mombine) saya mungkin bisa membuka kebisuan. Berbicara seperti bagaimana mengembangkan saya punya desa sendiri tho. Bagaimana saya membawa saya punya nama saya sendiri disini,” katanya.
Meski demikian, berbicara bukannya tanpa resiko. Ibu Reni dan rekannya pernah mempertanyakan dana bantuan drainase yang sudah pernah disosialisasikan sebelumnya. Mereka mempertanyakan berapa persen dana yang keluar dan berusaha mencocokkan dengan kemajuan pekerjaan. Alhasil mereka dipanggil ke kelurahan,”(mereka bilang) ah yang tidak mau diurus perempuan, diurus…” katanya. Menurutnya, pada saat sosialisasi program, perempuan selalu dilibatkan, namun pada saat implementasi,” pokoknya perempuan sudah tidak boleh tahu itu,”ujar Siti, salah satu rekannya.
Kini, setelah bersekolah di Sikola Mombine (SM), tak diundang ke rapat desa, mereka tetap nekat untuk masuk. “Kalau tidak boleh, menyelinap lah. (jadi) tamu tak diundang, biarlah. Kita duduk paling belakang, kita ingin tahu apa sebenarnya yang direncanakan selanjutnya tho… Jadi kita tidak bertanya-tanya, jadi seandainya ibu-ibu yang belum tahu apa-apa atau bapak-bapak yang tidak dapat undangan, bolehlah kita usulkan sama mereka, e.. pertemuan tadi isinya begini begini kan.. boleh kita kasih tahu sama mereka. Jadi itu semua yang kita inginkan disini.” Ujarnya.
Bagi perempuan yang duduk di kepemimpinan local –dari mulai RT sampai kepada desa, tugasnya tidak mudah. Seperti idealnya seorang pemimpin, mereka dituntut untuk senantiasa mampu menyuarakan kepentingannya. Ibu Reni, misalnya adalah seorang ketua RT di Palu. Mau tidak mau ia dituntut untuk bersuara, menyampaikan kebutuhan warganya, di forum-forum rapat desa. Menurutnya, kalau tidak aktif bersuara pada rapat-rapat semacam itu, jika ada program atau dana bantuan datang, pasti diberikan kepada RT lain. “Di pembelajaran ini (Sikola Mombine-ed) kita diwajibja untuk bisa bersuara dan mencari, jadi jangan hanya menerima bola tapi harus bisa menjemput bola. Disitulah kita punya keunggulan,” ujarnya lagi.
Hasilnya sudah bisa dirasakan warga sekitarnya. Wilayah yang sebelumnya jarang tersentuh pembangunan prasarana umum, kini ada pekerjaan-pekerjaan untuk perbaikan prasarana masyarakat. Peningkatan kualitas prasarana di RT-nya juga bisa dilihat kasat mata oleh RT tetangga. “Pengalaman kita, RT lain pada minta. Ayo.. ibu, ayo (kerja) disini, tapi kan itu tidak mungkin,” ujarnya sambil tertawa.
Tidak heran, dengan kiprah Ibu Reni, ia mulai dilirik oleh berbagai partai politik sebagai bakal caleg.
Ibu Maida merasa beruntung karena anak-anak dan suaminya mendukung aktivitas diluar rumah. Julukan lonte yang kerap dilontarkan tetangganya tak pernah ia hiraukan. Maklum, ia kerap pulang malam karena untuk menangani kasus-kasus KDRT, ataupun kasus lainnya, -termasuk pulang malam karena harus belajar di Sikola Mombine. Kadang-kadang ia pun pulang diantar mobil patrol polisi.” Katanya.
Ibu Maida adalah salah satu alumnus pendidikan paralegal yang diselenggarakan KPPA. “Tapi kalau sendiri, -sebelum saya ikutan SM itu suka bingung sendiri…. Ketika terbentur pada aturan-aturan itu, kita kan bingung mau berbicara dengan siapa,” katanya lagi. Setelah belajar di Sikola Mombine, pelan-pelan ada peningkatan. Metode belajar yang dipraktekkan ternyata membuat peserta belajar terlatih menghadapi persoalan-persoalan nyata. Misalnya saja, mereka mendiskusikan kasus dan permasalahan yang terjadi sekaligus solusinya.
“Kemarin ada masalah pelik juga sih… masalah KDRT karena ibu ini usianya masih dibawah umur, ia kan masih di bawah 16 tahun yang sudah punya bayi berusia 4 bulan. Jadi bingung, yang dimasukkan ke dalam KDRT itu masalah pemukulannya atau perkawinannya. Nah kasus itu kita diskusikan di kelas,” ujar ibu Maida lagi. Hasil diskusi menyimpulkan yang pertama kali harus dilakukan adalah memastikan perlindungan, karena korban sudah mengalami tindak kekerasan. Kasus ini kemudian diselesaikan, dengan melibatkan polisi yang menjemput bayi korban yang ditahan kemudian dititipkan di tetangganya oleh si Bapak.
Menurut ibu Maida, pengetahuan tentang hukum dan HAM di kelas SM tingkat lanjutan, sangat membantu dalam menangani kasus-kasus yang ditanganinya. Selama ini, ibu Maida secara sukarela menangani kasus kekerasan. Bahkan, bersama peserta belajar yang lain sempat juga menggelar posko pengaduan untuk kasus-kasus KDRT. Bahkan, kini, jika ada kasus KDRT, Pak Camat biasa menelepon ibu Maida langsung untuk meminta bantuan penanganan.
Sikola Mombine, bagi keempat ibu rumah tangga di Palu tadi, berperan besar dalam merubah hidup mereka. Bagi mereka, Sikola Mombine, menawarkan mereka pengetahuan yang membuat mereka percaya diri dalam berkiprah di ruang public. Dengan metode pembelajaran yang ditawarkan, peserta belajar juga dilatih terampil dalam memecahkan masalah, yang sangat membantu mereka di dunia nyata.”Di SM itu seolah-olah yang mengajar itu kita sendiri, fungsi guru hanya memediasi saja…. Tidak ada yang jenuh. Kita memang diasah pemikiran kita, anaslisa, dan bagaimana lingkungan di sekitar kita. Ini semua harus kita terapkan ke masyarakat lansung… tidak harus menunggu sampai di wisuda dulu,” kata ibu Reni.
link : http://www.tifafoundation.org/kisah-perempuan-memecah-kebisuan/