Peran perempuan untuk keberlanjutan livelihood keluarga penyintas bencana pasigala yang dimaksudkan disini adalah peran menerangkan pada apa yang harus dilakukan perempuan dalam situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan mereka sendiri dan harapan orang lain serta memiliki kekuatan dan sumber daya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka khususnya bagi keluarga korban yang selamat pada bencana Palu, Sigi dan Donggala.  Tentunya masih lekat diingatan kita bagaimana dahsyatnya bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuifaksi melanda PASIGALA. Peristiwa ini banyak menelan korban jiwa serta tidak sedikit korban kehilangan tempat tinggal mereka. Bahkan 7 bulan pasca bencana masih banyak korban yang harus tinggal di huntara dan tenda-tenda pengungsian. Berturut-turutnya bencana yang melanda, menyadarkan bahwa bencana adalah bagian dari kehidupan keseharian masyarakat yang harus disikapi dengan bijak. Respon sistematis terhadap bencana, diperlukan baik melalui disaster preparedness, tahap emergency ketika bencana terjadi, dan tahap recovery yang mencakup rekonstruksi dan rehabilitasi. Dengan melihat tahapan tersebut, pembelajaran atas respon bencana yang diikuti oleh kebijakan untuk mengurangi risiko dan dampak bencana, juga menjadi bagian penting. Dengan disaster preparedness yang memadai misalnya, maka kebijakan tata ruang, infrastruktur dan pemukiman, hingga kepada pembangunan sosial budaya serta ekonomi menjadikan masyarakat juga menjadi siap dan sadar bilamana bencana terjadi, serta menjadikan dampak bencana menjadi lebih bisa diminimalkan

Bencana alam pada umumnya akan berpengaruh besar dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat karena manusia hidup tidak terlepas dari alam. Seperti halnya bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang terjadi di PASIGALA. Pada umumnya, banyak kehidupan masyarakat PASIGALA terutama petani dan nelayan yang menggantungkan kehidupan sehari-hari pada alam. Tentunya bencana tersebut akan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.

Salah satu variable penting yang harus diperhitungkan adalah bahwa bencana yang sama bisa membawa dampak yang berbeda bagi kelompok gender yang berbeda. Sama-sama terjadi bencana gempa, tsunami dan likuifaksi misalnya, dampak yang ditimbulkan bagi laki-laki dan perempuan tidaklah identik, yang salah satunya disebabkan oleh perbedaan kerentanan terhadap bencana karena relasi gender yang ada. Laporan UN/IASC juga menuliskan bahwa struktur relasi gender adalah bagian dari konteks budaya dan sosial yang mempengaruhi  kapasitas komunitas untuk mengantisipasi, menyiapkan diri, mempertahankan diri dan juga melakukan pemulihan karena bencana.

Salah satu isu kunci yang menjadi concern dari proses mentoring dalam peredaman risiko bencana ini adalah memastikan bahwa analisis gender menjadi perspektif yang terintegrasi di dalamnya. Beberapa alasan yang mendasari mengapa integrasi perspektif ini begitu penting, akan dielaborasi dalam analisis kerentanan, analisis dampak, relasi antar pihak dan pilihan-pilihan yang tersedia untuk membuat upaya antisipasi bencana menjadi lebih terkelola dengan baik. Adalah penting untuk memandang bahwa kajian gender dalam pengurangan risiko bencana berarti mendorong perempuan agar memiliki posisi kunci dalam manajemen, kepemimpinan dan juga dalam pengambilan keputusan program penanganan bencana. Selain itu, karena pengurangan risiko bencana adalah bagian integrasi dari pembangunan, maka kajian gender dalam proses ini juga berarti upaya mendorong kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan dan masyarakat.

Deklarasi Beijing dari Rencana Aksinya 1995 dengan jelas mengakui bahwa degradasi lingkungan dan bencana manusia dan seringkali membawa dampak langsung yang lebih bagi perempuan. Sesi khusus ke-23 dari General Assembly pada tahun 2000 juga mengidentifikasi bencana alam sebagai tantangan terkini yang bisa mempengaruhi implementasi menyeluruh dari rencana aksi Beijing ini. Karenanya, dibutuhkan strategi untuk mengintegrasikan pencegahan bencana, mitigasi dan strategi recovery.

Elaine Enarson 2005 (dalam Fatimah, 2008) menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul “Gender Equality, work, and Disaster Reduction: Making The Connection”, menjelaskan bahwa risiko terhadap bencana terdistribusikan secara berbeda di dalam masyarakat. Menurutnya sebagai sebuah konsep yang kompleks, kerentanan dipengaruhi oleh banyak factor, diantaranya adalah perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya yang dibutuhkan baik untuk bertahan hidup maupun menjalani masa recovery setelah bencana. Namun, ia menggarisbawahi bahwa perempuan dan anak perempuan adalah merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang berada pada daftar kelompok dengan risiko tinggi terhadap bencana (Earson, 2000). Sementara laporan yang dikeluarkan oleh UN/IASC pada tahun 2001 berjudul “Women, Disaster Reduction and Sustainable Development” menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak bencana yang lebih berat.

Pasca bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuifaksi, banyak aktifitas warga yang telah terkendala. Bencana tersebut menyebabkan kerusakan baik pada fisik, lingkungan serta sosial dan ekonomi. Dalam bencana ini, perempuan dan laki-laki seringkali kehilangan kapasitas untuk mempertahankan sumber penghidupan keluarganya karena hilangnya sumber penghasilan/sumber daya produksi. Meskipun laki-laki dan perempuan mengalami kerentanan yang berbeda, tetapi sebagian besar perempuan terutama dari kalangan miskin, lanjut usia, dari kelompok minoritas sosial dan suku minoritas, memiliki strategi penanganan terbatas dan berisiko paling tinggi terkena dampak bencana alam.

Perempuan merupakan salah satu aktor yang sangat penting dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana, namun dalam beberapa aspek kajian ataupun program-program pasca bencana, mereka tidak banyak dilibatkan. Kondisi demikian telah dianggap sebagai hal yang lumrah karena dalam budaya yang berkembang disekitar kita, wanita telah lama dikonstruksikan hanya berkutat pada berbagai urusan rumah tangga dan geraknya pun dibatasi dalam lingkup rumah tangga (Nugraheni S, 2012). Mereka umumnya dipandang sebagai korban yang pasif dalam program-program pasca bencana. Pada kenyataannya, perempuan memiliki peran yang cukup penting dalam mengatur perekonomian keluarga atau membuat keputusan yang penting.

Meski ada beberapa perempuan yang dapat berperan dalam membantu pemulihan pasca bencana di PASIGALA, ada beberapa perempuan yang memilih untuk diam dan pasrah kepada nasib. Mereka dimanjakan oleh bantuan yang terus mengalir. Sampai kapan harus berkutat dalam zona nyaman seperti itu? Bantuan yang ada bersifat sementara, artinya tidak selamanya akan terus diberikan kepada korban PASIGALA. Kondisi ini harus segera diatasi, kiranya penting menanamkan kesadaran kepada masyarakat khususnya perempuan agar bisa bangkit dari kondisi demikian.

Dalam konsep Livelihood untuk memberikan kekuatan dan sumber daya dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat dimulai dalam bentuk kegiatan ekonomi yang kemudian secara perlahan akan berdampak kepada perubahan nilai-nilai sosial, pendidikan, budaya dan politik. Hal ini sejalan dengan visi misi “Sikola Mombine” dimana visi yayasan ini adalah perempuan menjadi aktor perubahan sosial politik untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang berdaulat, adil, mandiri dan demokratis. Dan untuk mewujudkan visi tersebut, misi Yayasan Sikola Mombine, yaitu (a) Mendidik perempuan sebagai aktor perubahan sosial politik, (b) Melahirkan perempuan pemimpin yang berkarakter kebangsaan (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya), serta (c) Menjadi pusat pengetahuan dan pendidikan kepemimpinan perempuan.

Oleh sebab itu, dengan adanya Yayasan Sikola Mombine dapat menjadi solusi dalam meminimalkan dampak bencana bagi korban PASIGALA dengan menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran korban khususnya perempuan, mengenai peran perempuan untuk keberlanjutan livelihood keluarga penyintas bencana PASIGALA melalui sosialisasi (pendidikan yang diberikan), pelatihan serta pendampingan ataupun tindak lanjut dari Sikola Mombine.

Dalam upaya meningkatkan kualitas hidup penyintas, khususnya perempuan, Sikola Mombine fokus melakukan pemulihan ekonomi para penyintas agar bisa bangkit dari kondisi yang ada sekarang dimana para penyintas telah terlena dengan bantuan-bantuan yang diterima baik dari pemerintah maupun NGO atau LSM yang ada. Program yang ditawarkan oleh Sikola Mombine yaitu membentuk usaha perempuan, baik dalam bentuk kelompok maupun usaha mandiri. Melalui program ini, diharapkan para perempuan penyintas dapat memiliki penghasilan untuk bisa membantu perekonomian rumah tangga dan untuk meningkatkan kesadaran perempuan tentang peran mereka, Sikola Mombine juga mengadakan Balai Belajar Kampung (BBK) yang dijadwalkan setidaknya seminggu sekali. Dalam BBK ini, para perempuan penyintas akan menerima materi baik sosial, politik, ekonomi maupun pengetahuan kesehatan. Tujuan diadakannya BBK ini sebagai upaya terciptanya perempuan sebagai aktor perubahan sosial politik, melahirkan perempuan pemimpin yang berkarakter kebangsaan (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya), menjadi pusat pengetahuan dan pendidikan kepemimpinan perempuan sebagaimana tertuang dalam visi misi Yayasan Sikola Mombine.

Penulis: Irmawati

Tinggalkan Balasan