Tututa.ID | Semakin berkurangnya hutan di Sulawesi Tengah sudah menjadi perhatian banyak pihak. Perluasan industri ekstraktif menjadi salah satu penyebab utama. Dampaknya tidak hanya terlihat pada hilangnya hutan, tetapi juga pada potensi berkurangnya sumber air bersih bagi masyarakat.
Berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Sulteng 2021-2026, sekitar 854 ribu hektare atau 13,95 persen wilayah tidak mampu menyediakan kebutuhan air secara mandiri. Selain itu, perubahan iklim juga mempengaruhi potensi kelautan dan kebutuhan pangan di Sulteng. Oleh karena itu, penting untuk mengalokasikan dana perlindungan lingkungan secara efektif melalui kebijakan seperti peraturan daerah (Perda) atau peraturan gubernur (Pergub). Hal ini menunjukkan komitmen politik pemimpin daerah untuk menjaga ekologi wilayahnya.
Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah skema Transfer Fiskal Ekologis (Ecological Fiscal Transfer/EFT). Skema ini telah diadopsi oleh beberapa pemerintah daerah di Indonesia untuk mengatasi penurunan kualitas lingkungan. Transfer Fiskal Ekologis adalah pendanaan yang berasal dari APBN atau APBD untuk melindungi konservasi lingkungan di suatu daerah. Jika suatu provinsi memiliki kebijakan untuk melindungi hutan daripada mengalihfungsikannya menjadi tambang atau perkebunan sawit, provinsi tersebut akan menerima kompensasi anggaran dari pemerintah pusat.
Di Sulteng, skema yang diterapkan meliputi Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE), dan Alokasi Anggaran Kelurahan Berbasis Ekologi (ALAKE). Hal ini dibahas dalam lokakarya yang dilaksanakan oleh Yayasan Sikola Mombine bersama Dinas Lingkungan Hidup Sulteng di Hotel Sutan Raja, Jalan DR. Abdurrahman Saleh, Palu, Rabu (22/5/2024).
Acara dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk Dinas Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil, seperti Walhi Sulteng, KARSA Institute, Forum Penanggulangan Resiko Bencana Sulteng, dan Pendanaan Lingkungan Hidup Indonesia.
Perda Nomor 5 Tahun 2021 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) telah mengatur bagaimana mempertahankan dan mengelola lingkungan di Sulteng. Namun, realisasi anggaran lingkungan hidup masih sangat rendah. Pada tahun 2020, hanya sekitar Rp10 miliar atau 0,02 persen dari APBD Sulteng yang dialokasikan untuk lingkungan hidup.
Skema TAPE dapat menjadi strategi percepatan pembangunan berkelanjutan di Sulteng. Hanya saja implementasinya membutuhkan komitmen dari pemerintah daerah, seperti yang dilakukan oleh Kalimantan Utara—provinsi pertama di Indonesia yang menerapkan skema pendanaan berbasis ekologi.
Penting bagi pemerintah daerah untuk menyediakan insentif anggaran bagi kabupaten atau kota yang berkinerja baik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, perlu inovasi dalam menciptakan perubahan dan kolaborasi, meskipun kapasitas pendanaan pemerintah terbatas.
“Prinsipnya transfer anggaran berbasis ekologi ini tidak menambah beban anggaran. Regulasi ini memungkinkan provinsi membantu kabupaten dalam kerja-kerja perhutanan. Misalnya UU Perhutanan Sosial. Tentu ini sebagai manifestasi komitmen perlindungan dan pengelolaan lingkungan,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Sikola Mombine Nur Safitri Lasibani saat membuka kegiatan lokakarya.
Pemerintah daerah bisa bekerja sama mengembangkan program aksi iklim dengan berbagai sumber pendanaan di luar APBN atau APBD. Pengajuan skema pendanaan berbasis ekologi sudah digalakkan di Sulteng sejak 2022, namun belum mencapai hasil yang diharapkan.
Menurut Ahlis Djirimu, pakar ekonomi Untad, pemerintah provinsi harus mengambil alih untuk memastikan realokasi anggaran yang memadai. Pasalnya krisis ekologi bukan hanya wacana, tapi sudah menjadi fakta sosial yang membutuhkan tindakan nyata.
Saat ini, 39 pemerintah daerah di Indonesia telah menerapkan konsep pendanaan ekologi, sementara 15 lainnya sedang dalam proses pengajuan. Di Sulteng, Kabupaten Sigi menjadi daerah pertama yang menerapkan skema pendanaan berbasis ekologi sejak 2021 dengan visi “Sigi Hijau”. Kabupaten Toli-Toli dan Kota Palu juga telah mengadopsi konsep ini, sementara Kabupaten Donggala masih dalam tahap persiapan.
Lokakarya ini diharapkan menghasilkan forum multi-pemangku kepentingan untuk mengawal penyusunan dan pengusulan anggaran, serta merekomendasikan revisi peraturan gubernur dan menyelaraskan indikator pelaksanaan skema pendanaan berbasis ekologi antara kabupaten/kota dengan provinsi.
Sumber: Tutura.id