Bulan ini kelas penggerak muda kedatangan tamu dari Yogyakarta yaitu kak Awaludin F. Aryanto. Kakak yang akrab di sapa kak Didin adalah alumni Pengajar Muda Indonesia Mengajar, Founder Sosial Enterprise TIMBA (Timber dan Bambu), YSEALI Professional Fellows USA, dan Global Exchange Maker Asoka Foundation. Dari berbagai prestasinya yang luar biasa, kak Didin berbagi pengalamanya di kelas Penggerak Muda tentang Pendidikan dan Membangun Sosial Enterprise untuk perubahan di komunitas.
Kegiatan Malam itu (05/052017) dimulai dari pembacaan naskah cerita refleksi tentang “Kualitas Pensil” yang di pandu oleh kak Wawan (Gunawan). Cerita refleksi wajib dilakukan setiap memulai kelas belajar sebagai penyemangat sebelum materi kelas dimulai. Cerita tersebut dibaca secara bergiliran di awal kelas, setelah selesai membaca naskah cerita tersebut kak Wawan pun menanyakan makna yang diperoleh dari cerita tersebut.
“Solidaritas dalam Komunitas” ujar Nana, Ibarat Pensil yang memiliki penghapus, komunitas harus sering merefleksikan kesalahan-kesalahan yang diperbuat seluruh anggotanya, bagaimana secara pribadi kita mengurangi sikap ego yang ada di dalam diri dan harus lebih banyak untuk mendengarkan keluhan dan cerita orang dengan baik. Peran Penghapus bukanlah hal yang buruk karena itu akan menciptakan ritme kerja yang baik dengan memperbaiki kesalahan, tetapi penghapus tetaplah penghapus, kesalahan akan membekas karena walaupun telah dihapus akan tetap membekas. Jadi, di dalam komunitas, koordinasi sangat dibutuhkan satu sama lain untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi. Setiap anggota harus aktif dan progresif dalam mencapai tujuan bersama.
Setelah selesai merefleksikan cerita tentang kualitas Pensil, Kak Didin melanjutkan dengan menceritakan pengalamannya membangun Ekonomi dari komunitas. Menurut kakak yang sudah memiliki satu anak cantik in “sebaik apapun organisasi jika tidak bisa mandiri secara ekonomi pasti suatu saat nanti akan rapuh”. Dengan menciptakan produk-produk dari limbah kayu dan plastik yang menghasilkan furniture, accessories, mainan dan lain-lain yang dipasarkan melalui digital marketing. Social enterprise yang diberi nama TIMBA ini di ambil dari filosofi timba air yang berarti menampung segala sumber kehidupan dan memberikan manfaat kepada orang lain. Seperti halnya timba air yang menampung air sedikit demi sedikit, TIMBA banyak melibatkan pengrajin lokal dan menggunakan resource yang ramah lingkungan.
Keberagaman komunitas menjadi kunci utama dalam meningkatkan proses produksi, misalnya ketika hari lebaran produksi meningkat tapi anggota komunitas yang muslim harus fokus beribadah, maka proses produksi dimbil alih oleh anggota yang non Muslim dengan begitupun sikap toleransi terjalin antara sesama anggota komunitas, selain itu menggunakan social media seperti whatsapp dalam pelaporan keuangan sangat efektif untuk membuka transparansi. Diakhir presentasenya kak Didin memberikan pesan “Not waste the money but monetize the waste”.
Nabila