Desa Malitu adalah salah satu desa dari 9 desa di kecamatan poso pesisir selatan yang berada di lereng gunung, Sesuai dengan namanya Malitu yaitu singkatan dari Mari Lihat Tuhan, desa ini memiliki penduduk desa yang sangat menjunjung tinggi agama mereka jadi tak heran jika desa ini memiliki julukan desa yang ramah, rukun, damai, serta bertoleransi tinggi antar sesama penduduk maupun desa yang lain. Tidak hanya itu desa ini juga di kenal dengan julukan desa penghasil gula aren yang berasal dari pohon nira. Di desa malitu, pohon nira merupakan salah satu sumber daya alam lokal yang tumbuh subur di dalamnya, pemberdayaan pohon nira yang masih menggunakan cara tradisional cukup membantu menjaga lingkungan namun belum mampu menopang secara ekonomi. Pohon nira merupakan pohon penghasil air yang tumbuh di dekat sumber mata air.
Keseimbangan ekologis antara manusia dan alam di desa ini masih sangat terjaga, hutan disekitar desa ini masih lebat, hewan-hewan liar di dalam hutan dekat tempat tinggal penduduk pun belum pernah keluar dari hutan untuk mencari makan kerumah–rumah penduduk karena sumber makanan hewan-hewan liar tersebut masih sangat terjaga, tidak pernah di rusak oleh penduduk di desa malitu ini. penduduk di desa ini masih sangat bergantung dengan alam, sumber mata pencarian terbesar pun masih dari alam, penduduk desa ini menjaga alamnya dengan sangat baik, mereka hanya menebang pohon seperlunya untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti saat akan membangun rumah atau keperluan lainnya yang membutuhkan kayu. Tetapi setelah menebang pohon mereka tidak pernah lupa untuk menanamnya kembali agar kelestariannya tetap terjaga, karena mereka percaya jika mereka akan menjaga hutan, maka sama saja mereka menolong anak cucu mereka nanti.
Ibu Nurhayati adalah salah satu transmigran yang berasal dari Bone Sulawesi Selatan, beliau dan keluarganya pindah didesa Malitu setelah konflik Poso terjadi. Ibu Nur merupakan penduduk desa malitu yang memiliki mata pencarian yang bersumber dari gula aren .hidup mereka sangat bergantung dengan alam. Tidak hanya Ibu nurhayati saja Namun Seluruh anggota keluarganya, dimulai dari pengambilan air pohon nira yang disadap dari bunga pohon nira yang saat sore hari suami ibu Nurhayati naik kehutan untuk memotong bunga nira tersebut. Air yang keluar dari pangkal bunga nira yang telah dipotong tersebut di tampung diderigen-derigen. Esok paginya derigen-derigen tersebut harus segera diambil agar air nira tidak rusak, karena jika air nira rusak maka tidak bisa digunakan untuk membuat gula aren. Setelah diambil air nira tersebut segera dimasak menjadi gula aren dan harus menunggu sampai 7 jam agar gula tersebut matang dan bisa dicetak.
Kerjasama yang dilakukan dikeluarga mereka sangat baik ketika suami ibu Nur pergi kehutan untuk mengambil air nira dan ibu Nur yang memasaknya, jika suaminya sedang sakit maka menantu laki-laki ibu Nur lah yang menggantikan bapak kehutan, begitu sebaliknya saat memasak air nira ibu dan anak perempuannya bergantian. Selain bekerja sebagai pembuat gula aren keluarga ibu Nur juga bekerja dikebun. Tetapi ada sedikit keluhan yang ibu Nur ceritakan yaitu masalah penjualan gula aren, hasil yang ia dapatkan tidak seberapa dari kerja-keras yang ibu Nur lakukan ia harus menunggu para pengepul gula aren datang kerumahnya untuk mengambil gula aren, sebab jarak dari desa malitu kepasar sangatlah jauh. Bila jumlahnya tidak sesuai target yang si pengepul gula aren inginkan maka para pengepul tidak mau membeli gula aren untuk di jual di pasar kembali. Jadi terkadang ibu Nur tidak punya uang sama sekali karena tidak ada pemasukan selain dari gula aren tersebut. Para perangkat desa pun sudah merespon kejadian ini dengan di adakannya pengepul, hanya saja itu masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarga ibu Nurhayati ataupun keluarga lainnya.
Pemerintah desa Malitu juga sangat baik dalam membangun desa, mereka sangat mematuhi undang-undang yang ada seperti tidak bolehnya menjadikan tanah-tanah digunung menjadi tanah milik pribadi karna sangat rawan longsor, juga sudah me-meta-metakan tanah untuk warganya. Pemerintahan sangat mendukung semua yang dilakukan warganya seperti peran ibu-ibu dalam desa. Dan untuk pembuat gula agar terus berjalan dengan baik mereka mencari cara agar gula bisa terjual dengan harga yang lebih tinggi.
Oleh sebab itu desa Malitu di jadikan desa percontohan oleh desa-desa lainnya. Karena di desa ini terdapat nilai-nilai toleransi antar umat beragamanya, kerukunan antar warga, sikap saling gotong-royong sesama penduduk yang masih sangat kental. Bukan hanya antar sesama penduduk namun antara alam dan manusia pun sangat di jaga kelestariannya.
Penulis : Penggerak Muda
Rara & Shinta
Pingback: Shinta Blog