Berusaha tetap berada di rumah selama pandemi tak selalu mudah. Tinggal di rumah yang acap kali terjadi kekerasan justru berbahaya bagi perempuan dan anak-anak.

Sulit dibayangkan tapi di berbagai belahan dunia dilaporkan kasus-kasus kekerasan seperti para suami memaksa istri dan anak mencuci tangan sampai tangannya terasa sakit. Ada juga kasus para suami yang secara sengaja batuk ke arah istri dan anaknya.

PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengatakan kombinasi masalah ekonomi dan tekanan sosial akibat wabah telah meningkatkan kasus-kasus kekerasan pada perempuan dan remaja putri di hampir semua negara.

Sikola Mombine, mencatat sebanyak 50 kasus kekerasan berbasis gender baik itu yang dialami orang dewasa maupun anak-anak terjadi sepanjang tahun 2019 sampai dengan Mei 2020. Selanjutnya sebanyak 205 kasus KDRT dialami perempuan selama masa pandemi tercatat di SIMFONI PPA, 23 April 2020.

Peningkatan terjadi di banyak negara. Perancis melaporkan peningkatan 30%. Di Singapura, peningkatan laporan via call center mencapai 33%. Sekjen PBB António Guterres mendesak semua pemerintah untuk menempatkan keselamatan perempuan sebagai prioritas di tengah upaya mengatasi wabah.

Para peneliti mengatakan dalam masa kriris, risiko kekerasan rumah tangga meningkat dan perempuan acapkali kesulitan mencari pertolongan.

WHO mengatakan kecenderungan perempuan dan anak-anak mengalami kekerasan meningkat dramatis karena anggota keluarga menghabiskan waktu berkumpul bersama di bawah tekanan mental akibat wabah dan ancaman kehilangan pekerjaan atau pemasukan.

Para ahli mengutarakan sejumlah penyebab sebagai berikut:

  1. Saat wabah perempuan memiliki keterbatasan kontak dengan keluarga atau teman yang dapat menyediakan dukungan dan perlindungan dari kekerasan
  2. Perempuan paling menderita akibat bertambahnya beban pekerjaan rumah. Penutupan sekolah meningkatkan beban dan memberi tambahan tekanan pada perempuan
  3. Gangguan pada mata pencaharian dan kemampuan mendapatkan pemasukan, di mana sebelumnya perempuan banyak bekerja di sektor informal, menyulitkan keluarga memenuhi kebutuhan dan layanan dasar sehingga meningkatkan tekanan mental, potensi konflik dan kekerasan. Dengan berkurangnya sumber daya, perempuan semakin berisiko karena ketergantungan ekonomi
  4. Pelaku kekerasan bisa memanfaatkan pembatasan-pembatasan selama wabah COVID-19 untuk menghalangi pasangannya mendapat layanan, pertolongan dan dukungan psikososial baik dari jaringan formal maupun informal
  5. Pelaku juga bisa menghalangi pasangan memperoleh hal-hal yang penting seperti sabun atau cairan pembersih tangan
  6. Pelaku bahkan dapat mengontrol dengan menyampaikan informasi salah tentang penyakit dan stigma

Dampak pada generasi berikut

Bahkan jika anak tidak mengalami kekerasan secara langsung, pengalaman melihat kekerasan dalam rumah tangga akan berakibat buruk dan berkepanjangan. Di antaranya, merusak pertumbuhan mental dan emosional di tahap-tahap penting perkembangan anak.

Saat beranjak dewasa, anak-anak yang melihat kekerasan berpotensi mengalami efek buruk seperti kesulitan bersekolah, keterampilan bergaul yang rendah, depresi, kegelisahan dan masalah-masalah psikologis lainnya. Menurut laporan, mereka berisiko jatuh ke dalam masalah narkoba, kehamilan remaja dan kriminalitas.

Kalau Anda atau seseorang yang Anda ketahui atau anak Anda membutuhkan dukungan, hubungi:

sumber: covid19.go.id

Tinggalkan Balasan