Memasuki satu tahun pascabencana Sulteng, masih terdapat berbagai persoalan diantara para penyintas. Problem ini utamanya mengenai hak-hak korban yang sedianya telah tuntas diberikan oleh negara. Namun kenyataannya hingga hari ini masih terdapat penyintas yang tinggal di tenda pengungsian. Mereka yang sudah menempati huntara pun masih ada yang berjuang untuk memperoleh air bersih. Sebagian lagi mengejar santunan jadup dan stimulan yang tak kunjung cair. Belum lagi mereka yang kehilangan rumah, saat ini masih bertarung untuk memperoleh kembali hak-hak keperdataanya yang hilang sekaligus berharap agar tak direlokasi jauh dari sumber mata pencahariannya, dan masih banyak lagi persoalan lain yang dialami oleh penyintas.

Problematika ini menurut hasil Penelitian The Asia Foundation bersama Sikola Mombine pada bulan Mei 2019 disebabkan oleh persoalan tata kelola kebencanaan di Sulteng berjalan kurang baik. Meski berstatus bencana daerah namun upaya penanganan bencana didominasi oleh pemerintah pusat. Walau perda tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana telah dibuat sejak Tahun 2013, namun saat terjadi bencana pedoman ini tak digunakan sebagaimana mestinya oleh Pemda. Akibatnya lahir banyak persoalan turunan ditengah masyarakat.

Bulan September ini, anggota DPR kabupaten/kota dan DPRD Provinsi akan dilantik. Ini menjadi pertanda harapan baik sekaligus harapan buruk bagi penyintas. Semua itu bergantung pada kebijakan apa yang akan dirumuskan di meja parlemen. Apakah kebijakan tersebut akan berpihak kepada penyintas atau sebaliknya malah merugikan penyintas.

Melihat hal ini, Sikola Mombine pada hari Rabu, 9 September kemarin menyelenggarakan diskusi jaringan NGO dan masyarakat korban. Kegiatan yang diselenggarakan di Refans Kafe ini mengundang anggota legislatif terpilih baik dari DPRD provinsi, kota Palu, kabupaten Sigi dan kabupaten Donggala. Meski demikian dari total 13 anggota legislatif yang diundang, hanya 2 orang yang menghadiri kegiatan ini, yakni Yahdi Basma, SH (DPRD Provinsi) dan Mutmainah Korona (DPRD Kota Palu).

Kekecewaan sempat terlontarkan oleh ibu Wirtan, penyintas asal Mamboro, yang kecewa dengan sedikitnya jumlah anggota legislatif yang hadir.

“Pada saat pencalonan saja caleg-caleng turun ke tempat pengungsian hampir tiap hari, tapi setelah dilantik mereka tidak punya waktu bertemu kita.”

Meski demikian, hal ini tidak mengurangi hangatnya diskusi. Dipandu oleh Dedy Irawan sebagai pemantik, sebanyak 30 peseta dari berbagai NGO seperti Sulteng Bergerak, KOMIU, ROA, Nemu Buku, Pasigala Centre, Water, YPAL, SKP-HAM, Bina Desa, Daster Biru, vocal point Sikola Mombine dan warga penyintas mengurai topik dan substansi dari tema yang diangkat. Termuan dari masing-masing NGO diungkapkan dalam diskusi ini. Begitu pula, berkali-kali kinerja Pansus P3B yang diketuai oleh Yahdi Basma di DPRD Provinsi di pertanyakan ke efektivitasannya mendorong kerja eksekutif dalam penanggulangan bencana. Begitu pula dengan Mutmainah Korona sebagai anggota DPRD kota Palu yang baru diminta untuk menjelaskan rencana kerja apa yang akan di dorong di meja parlemen selama menjabat lima tahun kedepan.

Hasil dan rencana tidak lanjut dari diskusi ini ialah mendorong anggota legislatif ditingkat provinsi, kabupaten dan kota untuk membentuk kaukus parlemen tentang kebencanaan. Selain itu juga mendorong adanya revisi Perda tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Hal lain adalah mendorong penghentian sementara pengesahan Perda RTRW yang tidak memeiliki perspektif bencana. Terakhir dengan kebijakan politik anggaran, DPRD dapat mendorong pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak korban, sebelum, sesaat dan setelah bencana.

Tinggalkan Balasan