Penulis: Nur Safitri Lasibani

Pasca 1 tahun bencana alam di Kota Palu, Kab. Sigi dan Kab. Donggala tanggal 28 September 2018 silam, ternyata kepastian atas hak dasar penyintas belum juga menemui titik terang. Hal ini terlihat dari kenyataan di lapangan bahwa masih ditemukan 125 KK yang masih tinggal di tenda pengungsian Masjid Agung Kota Palu. Di Masjid Agung Kota Palu ini, terdapat 5 blok, yakni Blok A yang dihuni oleh 17 KK, Blok B 33 KK, Blok C 32 KK, Blok D 28 KK dan di Blok E sebanyak 15 KK. Bukan hanya itu, sejumlah bayi, batita dan balita masih hidup di tenda pengungsian yang tidak layak bagi kehidupan mereka. Tercatat 12 bayi, 14 batita dan 24 balita yang harus tinggal didalam tenda pengungsian yang tak layak bagi mereka. Sanitasi yang buruk serta keadaan tenda pengungsian yang tak urung mendapatkan kepastian dari pemerintah. Kondisi tenda mereka yang sudah tak layak huni ini sering menuai banyak persoalan, apalagi di musim hujan saat ini banyak tenda mereka yang bocor dan tak jarang banjir melanda tempat bernaung mereka.

Foto: Dokumentasi Sikola Mombine

Sebelumnya pemerintah telah menyediakan Huntara bagi mereka sejumlah 160 KK, akan tetapi ketika dilapangan terjadi kesalahan dengan masyarakat yang lainnya sehingga nama mereka kemudian diganti dengan nama masyarakat yang lainnya. Terpaksa mereka memilih untuk tinggal di tenda pengungsian daripada harus bersitegang dengan masyarakat yang lain di Huntara. Setahun telah berlalu, penyintas dari Lere, Kampung Baru, Balaroa dan Silae tinggal di tenda pengungsian tanpa ada sentuhan pemulihan ekonomi yang diberikan oleh pemerintah. Sekitar awal oktober 2019 ini, menurut penuturan salah satu penyintas yang menjadi koordinator di pengungsian tersebut mengatakan bahwa dari Dinas Sosial Kota Palu hanya datang membawakan bantuan logistik. Bantuan untuk pemulihan ekonomi diberikan hanya untuk 9 orang saja, itupun bantuan perahu diberikan oleh salah satu lembaga non pemerintah. Sementara mayoritas masyarakat yang tinggal di tenda pengungsian tersebut adalah masyarakat nelayan yang banyak kehilangan tempat tinggal dan alat produksi mereka.

Pemerintah sebelumnya pernah menjanjikan kepada masyarakat terkait bantuan jaminan hidup (JADUP), tetapi hingga saat ini belum direalisasikan sehingga masyarakat tentunya bertanya-tanya. Masyarakat hanya bisa bersabar menanti janji manis dari pemerintah. Mereka hanya bisa berharap, kalaupun pemerintah tidak mampu memberikan mereka penggantian rumah, tetapi setidaknya sanitasi mereka diperhatikan di tenda pengungsian ini. Masyarakat di larang untuk melakukan aksi unjuk rasa, sementara pemerintah tidak mampu berterus terang kepada masyarakat akan kepastian hak mereka.

“Jika Pemerintah tidak punya uang, mending berterus terang saja kepada kami, bukan malah menjanjikan banyak hal kepada kami.” Tutup salah satu masyarakat yang tinggal di Blok A Tenda Pengungsian Masjid Agung.

Tinggalkan Balasan