Sejatinya kemerdekaan tidak hanya merupakan hak segala bangsa. Namun juga segala kaum, termasuk perempuan. Kemerdekaan yang dimaksud meliputi berbagai aspek. Di antaranya yaitu mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, merdeka dalam beropini, dan turut serta dalam kegiatan bermasyarakat, serta merdeka dalam mengambil keputusan dan menentukan jalan hidupnya. Namun, sudah sejauh manakah kemerdekaan tersebut didapatkan?

Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan quotes yang dicetuskan oleh Dian Sastro, sosok public figureperempuan. “Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi. Karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas”.

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan elemen utama untuk membangun peradaban yang maju dengan generasi yang gemilang. Tetapi kenyataannya, persoalan ini belum sepenuhnya mendapat titik terang terlebih di era pandemi seperti saat ini.

Menurut data yang dikutip dari katadata.co.id survei yang dilakukan United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) mencatat, sebanyak 1% atau 938 anak berusia 7-18 tahun putus sekolah karena terdampak pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, 74% anak dilaporkan putus sekolah karena alasan ekonomi. UNICEF juga melaporkan, anak perempuan 10 kali lebih besar kemungkinannya putus sekolah karena pernikahan dini.

Salah satu hal yang kita sadari dalam kasus tersebut adalah pemikiran kuno seperti menikah merupakan suatu solusi dari permasalahan yang dialami oleh sebagian perempuan masih melekat dalam pola pikir masyarakat tanpa memperdulikan rentan usia yang dikategorikan belum cukup umur. Padahal makna pernikahan tidak sesederhana itu.

Saat memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga, kita justru harus telah mampu menangi permasalahan-permasalahan baru yang telah menanti serta sudah memiliki kematangan pada berbagai hal termasuk kematangan emosional. Sangat disayangkan jika para perempuan yang seharusnya masih menerima pembelajaran di bangku sekolah namun sudah harus mengurus rumah tangga.

Tidak hanya itu, stigma lainnya yang membelenggu perempuan juga masih banyak bertebaran. Seperti perempuan tidak harus berpendidikan tinggi karena pada akhirnya hanya akan berakhir menjadi seorang ibu rumah tangga, atau perempuan tidak perlu bersusah payah mengejar karir yang cemerlang karena kodrat perempuan adalah mengurus anak dan melayani suami, serta pembungkaman-pembungkaman yang dilakukan terhadap perempuan ketika mereka bersuara mengenai suatu isu.

Jika ditinjau lebih jauh mengapa hal-hal semacam ini masih menjadi belenggu terhadap kemerdekaan bagi kaum perempuan, jawabannya hanya satu. Masyarakat masih memandang perempuan dengan kaca mata bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak bisa berdiri kokoh dengan kakinya sendiri.

Makna lemah di sini sebenarnya masih rancu. Sebab jika lemah yang dimaksud mengarah ke fisik, tidak dimungkiri bahwa sudah banyak atlet-atlet perempuan yang mengharumkan nama negeri tidak hanya di kancah nasional, namun juga internasional. Contohnya saja Windy Cantika Aisha. Ia sukses memenangi medali perunggu Olimpiade Tokyo 2020 cabang olahraga angkat besi di kelas putri 49 kg.

Selain itu, ada pula sosok-sosok perempuan yang mampu mengemban tugas penting di kursi pemerintahan. Hal itu membawa kita pada fakta bahwa peran perempuan tidak hanya persoalan dapur, sumur, dan kasur. Perempuan juga mampu terbang dengan sayap mereka sendiri walau diterpa badai sekalipun.

Tanpa terlepas dari kodratnya, perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Menerapkan pola asuh yang baik pada anak merupakan awal mula terbentuknya peradaban yang baik pula. Hal demikian dikarenakan anak merupakan generasi penerus yang akan membangun dan membawa perubahan untuk bangsa ini ke arah yang lebih baik serta menjaga tali dakwah agamanya di masa yang akan datang.

Layaknya pohon yang sejak mejadi bibit sudah dipupuk dan dirawat dengan sedemikian rupa, maka ia kelak akan tumbuh menjadi pohon yang rindang dan menghasilkan buah yang manis. Begitupula dengan anak. Tetapi, anak bukanlah pohon. Mereka adalah makhluk yang memiliki akal dan perasaan. Maka mendidiknya tidak hanya membutuhkan ilmu yang pas-pasan dan apa adanya dari madrasah pertamanya. Untuk menjadi madrasah pertama yang agung, seorang perempuan membutuhkan ilmu yang dapat diperoleh selain dari pendidikan yang tinggi juga dari pengalaman ataupun orang-orang sekitar. Entah itu ruang lingkup pekerjaan dan lain sebagainya.

Lalu apakah hal-hal yang membuat kemerdekaan kaum perempuan tersandung berhenti sampai di situ saja? Tentu tidak. Hal lain seperti misalnya kritikan pedas mengenai pola asuh anak, keputusannya saat memilih menjadi wanita karir sembari mengemban tugas sebagai seorang istri dan ibu, gaya berpakaian, dan lain sebagainya seolah kembali menarik perempuan agar menjadi budak patriarki.

Tanpa disadari hal-hal seperti ini akan menyerang psikis. Dan jika hal itu terjadi, segala aspek yang ditangani oleh seorang perempuan juga akan terganggu termasuk pola asuh anak. Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa anak yang bahagia dibesarkan oleh seorang ibu yang bahagia pula. Namun jika psikis sang ibu terganggu, hal ini juga akan berdampak pada anak.

Pola asuh diibaratkan sebagai sebuah mata rantai. Jika seorang anak mendapatkan pola asuh yang buruk sejak kecil, tidak menutup kemungkinan ia akan melakukan hal yang sama pada anaknya kelak. Apa yang terjadi jika mata rantai ini tak kunjung terputus? Tentu negeri ini akan dipenuhi oleh generasi-generasi yang kecerdasan emosionalnya buruk.

Sebenarnya perihal belenggu yang mengekang kaum perempuan tadi akan musnah dengan mudah jika kaum perempuan saling bersatu. Karena biar bagaimanapun, segala sesuatu akan lebih mudah dikerjakan Bersama ketimbang sendirian. Namun mirisnya, tidak semua perempuan asadar hal tersebut. Slogan woman support woman terdengar seperti hanya bualan belaka. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus seorang perempuan yang dianiaya hingga pingsan oleh suatu geng yang notabenya juga merupakan perempuan yang terjadi di Probolinggo pada 2017 silam.

Kemerdekaan kaum perempuan dan kemajuan peradaban memiliki kolerasi yang jelas. Sebab perempuan dan anak merupakan komponen penting dalam pembangunan peradaban. Untuk memperoleh kemerdekaan itu sendiri diperlukan kesadaran dalam diri masing-masing perempuan untuk bersatu dan saling mendukung. Bukan saling menjatuhkan. Hal tersebut dapat dimulai dari hal sederhana seperti saling menghargai perbedaan pendapat bukan saling mencibir.

Pada akhirnya kita hanya perlu memahami bahwa kemerdekaan tidak selamanya bermakna buruk dan membawa kaum perempuan pada hal-hal yang liar. Kemerdekaan dibutuhkan oleh kaum perempuan untuk membentuk kemajuan peradaban.

[End]

Penulis: Feby Farayola | Tulisan ini pernah diterbitkan di Suara Aisyiyah

Tinggalkan Balasan