Hari pertama Januari 2024 menjadi duka bagi Jepang. Pasalnya Prefektur Ishikawa Jepang mengalami gempa besar. Gempa darat berkekuatan 7,5 magnitudo menghantam wilayah ini pada pukul 16.10 waktu setempat. Gempa telah memicu tsunami setinggi 1,2 meter di semenanjung Noto dan menyebabkan kebakaran pemukiman.
Besarnya kekuatan gempa dapat diamati dari kiriman foto dan video yang dibagikan warga Jepang melalui media sosial X hingga Tiktok. Terlihat rumah-rumah penduduk mengalami kerusakan dengan berbagai tingkatan, dari rusak ringan hingga rusak berat. Jalanan utama di pusat gempa sempat terputus hingga layanan kereta cepat Shinkansen menuju wilayah ini ditangguhkan. Selain itu jaringan listrik yang rusak mengakibatkan 36.000 rumah penduduk di prefektur Ishikawa dan Toyama mengalami pemadaman.
Meski dampak kerugian yang ditimbulkan tidak sedikit, tetapi jumlah korban meninggal akibat gempa ini sangat minim. Laporan terbaru per 2 Januari 2024 menyebut jumlah korban akibat gempa ini berjumlah 48 orang. Jumlah tersebut kemungkinan akan bertambah, akan tetapi jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah korban gempa yang pernah terjadi di Indonesia.
Sebagai perbandingan gempa Yogyakarta tahun 2006 magnitudo 6,4 menelan korban 6.234 jiwa, Gempa Sulteng tahun 2018 magnitudo 7,4 merenggut 4.340 nyawa, dan Gempa Cianjur tahun 2022 magnitudo 5,6 memakan korban 602 orang. Semua gempa ini memiliki karakteristik yang sama sebagaimana di Jepang yaitu gempa darat dengan kedalaman 10 km. Meski magnitudonya lebih kecil, jumlah korban gempa di negara kita ternyata jauh lebih banyak.
Mengapa Jepang bisa menekan jumlah korban jiwa sekecil itu?
Pertama, Jepang memiliki infrastuktur tahan bencana.
Sebagai negara yang rawan gempa, Jepang sudah lama berinvestasi pada infrastruktur yang tangguh bencana. Rata-rata bangunan di Jepang sudah didesain sesuai dengan aturan bangunan tahan gempa yang diberlakukan oleh pemerintah. Terbukti mayoritas gedung dan bangunan di Jepang tetap berdiri kokoh meski diguncang gempa besar.
Infrastruktur yang tangguh merupakan syarat utama mengurangi angka kematian dan luka fatal. Penyebab utama kematian akibat gempa adalah tertimbun reruntuhan bangunan. Dengan membangun bangunan tahan gempa maka idealnya kita dapat mengurangi korban jiwa secara signifikan.
Sebenarnya Indonesia telah memiliki 27 SNI dan 25 pedoman teknis terkait bahan konstruksi bangunan dan rakayasa sipil. Itu semua dibuat untuk memastikan infrastruktur kita juga tangguh terhadap bencana. Namun pada tataran implementasi, regulasi ini kurang diindahkan. Banyak hunian di Indonesia dibangun tanpa melibatkan orang yang paham mengenai teori bangunan sehingga pembangunannya terkesan asal jadi atau asal-asalan. Sebagian lain sengaja tidak membangun sesuai standar agar biaya pembangunannya menjadi lebih murah. Sebagian sisanya sengaja mengurangi mutu dan kualitas bangunan untuk dikorupsi. Praktik terakhir ini sayangnya justru marak terjadi pada proyek-proyek pembangunan fasilitas umum dan infrastruktur sipil yang dibiayai oleh negara.
Kedua, Jepang memiliki sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan yang dapat diandalkan.
Jepang telah mengembangkan sistem peringatan dini multi bahaya yang terintegrasi dan terhubung ke ponsel tiap penduduk. Peringatan dini ini akan dikirimkan melalui ponsel ke masing-masing warga sebelum bencana tersebut terjadi. Peringatan tersebut berupa alarm tanda bahaya disertai informasi kapan dan dimana bencana tersebut akan terjadi.
Uniknya, peringatan dini ini akan masuk secara otomatis tanpa perlu install aplikasi apapun. Alarm akan tetap berbunyi meskipun ponsel sedang dalam mode hening. Peringatan akan tetap masuk meski meski provider warga yang dimiliki berbeda-beda. Bahkan peringatan juga diterima oleh warga negara asing sekalipun.
Secara sains, gempa memang tidak dapat diprediksi. Tetapi saat gempa terjadi terdapat selisih waktu antara gelombang kejut pertama yang tidak merusak dan gelombang kejut kedua yang bergerak lebih lambat namun merusak. Perbedaan kecepatan rambat kedua gelombang inilah yang dimanfaatkan pemerintah Jepang untuk membangun sistem peringatan dini gempa.
Waktunya peringatan memang tergolong singkat, hanya 4-60 detik saja. Namun waktu ini disebut golden time karena cukup memberikan kesempatan kepada warga untuk mencari tempat berlindung, mematikan kompor, memberhentikan lift, menunda operasi medis, mengurangi kecepatan kereta cepat Shinkansen, menyiagakan sistem keamanan reaktor nuklir, menyiakan tim rescue, dll. Teknologi peringatan dini gempa inilah yang belum kita miliki.
Hal lain yang tidak kalah menarik ialah jika terdapat tanda tsunami, peringatan dini bukan hanya dikirimkan melalui ponsel, tetapi juga disiarkan melalui stasiun TV secara live. Program TV yang saat itu sedang berjalan akan dihentikan sementara dan segera beralih menyiarkan peringatan dini tsunami. Televisi publik di Jepang secara serentak menayangkan tulisan ‘EVACUATE’ dalam huruf besar dan mendesak warga untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
Jika saluran komunikasi terputus, pemerintah Jepang akan mengaktifkan layanan wifi satelit secara gratis yang dapat digunakan warga pada situasi darurat seperti mengabarkan keluarga atau meminta pertolongan pada saat kritis. Wifi satelit ini disedikan di berbagai fasilitas umum, kawasan komersial atau tempat-tempat dimana masyarakat banyak berkumpul seperti stasiun, pusat perbelanjaan, kafe-kafe besar, restoran, bandara, toserba, dll.
Indonesia juga bisa
Dengan sistem kesiapsiagaan sebaik itu maka pantas bila Jepang mampu menekan jumlah korban jiwa akibat bencana. Budaya mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat Jepang patut kita tiru. Terlebih karakteristik ancaman bencana yang kita miliki juga mirip dengan negara Jepang.
Untuk mencapai titik tersebut banyak pekerjaan yang perlu kita lakukan. Paling utama ialah membangun kesadaran, budaya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana melalui pendidikan. Sampai saat ini pendidikan merupakan satu-satunya cara paling efektif untuk mentransformasi nilai-nilai budaya baru kepada penduduk. Untuk itu kepemimpinan dan keberpihakan politik amat diharapkan agar terjadi perubahan signifikan sebagaimana yang diharapkan.
Penting untuk diingat bahwa upaya ini memerlukan komitmen jangka panjang dan kerjasama yang kokoh antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Dengan kepemimpinan yang efektif dan dukungan yang konsisten dari masyarakat, Indonesia pun dapat mengembangkan budaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang kuat, yang dapat melindungi nyawa warga negara dan mengurangi kerugian harta benda akibat bencana.
[End]
Penulis: Satrio Amrullah | Tulisan ini telah diterbitkan di harian Mercusuar edisi 3 Januari 2024.