Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, budaya patriarki telah lama mendominasi kehidupan sosial, membentuk persepsi bahwa perempuan adalah makhluk kedua setelah laki-laki. Pandangan ini mengakar dalam sistem sosial yang menempatkan perempuan sebagai kelas dua, menciptakan ketidakadilan yang terus berlangsung sepanjang sejarah. Patriarki tidak hanya menjadi sumber diskriminasi gender, tetapi juga sering kali memperoleh legitimasi melalui tafsiran agama yang berpihak pada laki-laki. Padahal, jika ditinjau dengan lebih adil dan humanis, ajaran-ajaran agama pada dasarnya mengedepankan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia tanpa memandang jenis kelamin.

Tafsiran agama yang bersifat bias gender sering kali lahir dari para penafsir yang sebagian besar adalah laki-laki, yang mungkin tidak memiliki pandangan yang adil terhadap peran perempuan dalam masyarakat. Ulama perempuan seperti Dr. Rofiah menekankan bahwa tafsir agama seharusnya dipandang sebagai konstruksi sosial, yang berarti dapat berubah sesuai dengan perkembangan kesadaran sosial. Namun, karena mayoritas tafsir yang tersedia di masyarakat adalah hasil karya laki-laki, persepsi yang berkembang cenderung mengunggulkan laki-laki dan mengesampingkan perempuan. Ini adalah salah satu alasan mengapa perempuan terus mengalami perlakuan tidak adil, meskipun dunia telah memasuki era modern dan Indonesia telah merdeka dari penjajahan asing.

Diskriminasi gender yang dialami perempuan di Indonesia memiliki akar yang dalam pada kombinasi kebudayaan, norma adat, hukum lokal, dan tafsiran agama. Diskriminasi ini tidak hanya menyangkut peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga melibatkan penyangkalan terhadap hak-hak asasi perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan menjadi korban kekerasan fisik dan mental, menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya merdeka, bahkan dari tubuh mereka sendiri. Kasus-kasus pemerkosaan, pelecehan, dan kekerasan dalam rumah tangga yang masih sering terjadi adalah bukti nyata bahwa perempuan Indonesia belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa kebebasan dari penyiksaan adalah hak dasar setiap manusia. Hak ini diakui dan dijamin oleh berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk dalam konstitusi dan undang-undang tentang hak asasi manusia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) juga menyoroti pentingnya pemberdayaan perempuan sebagai bagian dari upaya mencapai kesetaraan gender, yang merupakan salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG).

Pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, penting untuk mendorong pemerintah agar memperkuat kebijakan perlindungan perempuan dari kekerasan dan diskriminasi. Ini adalah momen bagi masyarakat Indonesia untuk memperbaharui komitmen terhadap prinsip keadilan gender, dan untuk memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri mereka tanpa hambatan dari stereotip atau norma-norma sosial yang tidak adil. Perempuan harus terus bergerak, berjuang untuk mencapai kemerdekaan sejati yang memungkinkan mereka hidup tanpa diskriminasi, dalam kesetaraan yang hakiki.

Kemerdekaan bagi perempuan harus dimaknai sebagai kebebasan untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan potensi mereka sesuai dengan hak asasi manusia. Merdeka berarti perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berperan di masyarakat, tanpa harus mengorbankan identitas dan pengalaman khas mereka sebagai perempuan. Merdeka juga berarti tercapainya harmoni antara pengalaman sosial perempuan dan laki-laki dalam suasana keadilan yang sejati.

Untuk mencapai keadilan yang sejati, diperlukan dua pendekatan utama. Pertama, pendekatan kultural yang bertujuan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender, sehingga pandangan terhadap perempuan dan laki-laki dapat lebih adil dan seimbang. Kedua, pendekatan struktural yang melibatkan peran aktif negara dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang menjamin perlindungan hak asasi perempuan dan memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Kemerdekaan bukan hanya soal lepas dari penjajahan fisik oleh bangsa lain, tetapi juga soal memperoleh kebebasan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi perempuan Indonesia, kemerdekaan harus berarti kebebasan untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri—dari pendidikan, karir, pasangan hidup, hingga kebebasan dari tekanan sosial yang membelenggu.

Dalam semangat kemerdekaan Indonesia yang ke-79 ini, perlu ada pemaknaan yang lebih mendalam tentang arti kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang jenis kelamin, ras, atau etnis. Perempuan dan negara adalah entitas yang saling terkait, dan sudah saatnya kemerdekaan yang sejati dapat dirasakan oleh seluruh perempuan Indonesia, sehingga mereka benar-benar merdeka dalam setiap aspek kehidupan mereka.

[End]

Penulis: Satrio Amrullah | Editor: Satrio Amrullah

Tinggalkan Balasan