Palu, 15 Oktober 2024 – Yayasan Sikola Mombine bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sigi menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Program Sigi Masagena. Kegiatan yang dilaksanakan di Kafe Teko tersebut dihadiri oleh berbagai elemen pemerintah dan masyarakat, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapperinda), Dinas Sosial, Dinas UMKM, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag), Bagian Hukum, anggota DPRD Kabupaten Sigi, serta Pokja OPDis.
Program Sigi Masagena merupakan salah satu upaya unggulan Pemerintah Kabupaten Sigi dalam menanggulangi kemiskinan melalui pendekatan ekonomi kerakyatan. Gerakan terpadu ini diresmikan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam konteks kemiskinan ekstrem yang masih menjadi tantangan besar di wilayah Sigi. Berdasarkan data, tercatat sebanyak 33.789 Kepala Keluarga (KK) atau 129.844 individu di Kabupaten Sigi masih hidup dalam kemiskinan ekstrem. Selama sepuluh tahun terakhir, tingkat kemiskinan di daerah ini tetap berada di atas 12%, jauh melampaui rata-rata nasional yang hanya 9%.
Namun, dalam implementasinya, program Sigi Masagena dinilai belum sepenuhnya mengakomodir mandat inklusi. Hal ini mencakup data terpilah, aksesibilitas, peningkatan kapasitas, partisipasi, dan prioritas perlindungan bagi kelompok rentan, terutama perempuan dan penyandang disabilitas.
“Temuan kami di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar peserta program ini adalah perempuan dan penyandang disabilitas yang masih belum terdata dengan baik dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dan kesulitan mengakses program pemerintah akibat keterbatasan mobilitas,”
ungkap Novi, Project Officer Yayasan Sikola Mombine.
Menurutnya Novi, peraturan ini merupakan terobosan yang baik, tetapi perlu perbaikan agar benar-benar inklusif bagi seluruh kelompok masyarakat, terutama mereka yang paling rentan.
Sultan dari Pokja OPDis juga menyoroti penggunaan istilah “cacat” dalam perda tersebut, yang menurutnya memiliki konotasi negatif dan tidak sesuai dengan semangat inklusi. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD), sehingga istilah “penyandang disabilitas” lebih tepat digunakan.
“Harapannya istilah ‘cacat’ diubah menjadi ‘penyandang disabilitas’, karena istilah cacat memiliki makna yang kurang pantas. Cacat lebih cocok digunakan untuk benda, bukan manusia,”
ujar Sultan.
Menanggapi masukan tersebut, Endang, anggota DPRD Sigi yang hadir sebagai pemantik diskusi, menyatakan bahwa isu tersebut akan dibahas lebih lanjut bersama biro hukum. Ia juga menekankan pentingnya data terpilah mengenai penyandang disabilitas di Sigi agar bisa dimasukkan dalam program anggaran.
“Ini akan menjadi salah satu poin yang akan kami diskusikan. Selain itu, data mengenai penyandang disabilitas juga harus segera diakomodir agar bisa masuk dalam perencanaan program dan penganggaran Sigi Masagena,”
ungkap Endang.
Data penyandang disabilitas memang masih menjadi persoalan bagi Kabupaten Sigi. Saat ini, data tersebut hanya didasarkan pada laporan dari pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), bukan hasil survei independen. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara jumlah penyandang disabilitas yang terdata dengan kondisi riil di lapangan. Hasbullah, perwakilan dari Dinas Sosial Sigi, menyebut bahwa jumlah penyandang disabilitas yang terdata saat ini hanya 1.658 orang, jauh dari jumlah sebenarnya.
Diskusi ditutup dengan kesimpulan bahwa perda ini memerlukan revisi, terutama terkait penggunaan istilah, pendekatan inklusif dalam pemberdayaan disabilitas, serta perlindungan bagi kelompok perempuan miskin.
Taufik, Program Manager Yayasan Sikola Mombine, berharap agar kelompok perempuan dan penyandang disabilitas dapat berperan aktif dalam program ini, bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi juga subjek yang mengambil peran penting dalam mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Sigi.
“Kami berharap kelompok perempuan dan penyandang disabilitas dapat berpartisipasi aktif dalam program Sigi Masagena, sehingga mereka tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek yang berperan penting dalam upaya keluar dari garis kemiskinan,”
tutup Taufik.
Kegiatan FGD ini merupakan tindak lanjut dari Program PAKAGASI, program kemitraan Yayasan Sikola Mombine bersama Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) Indonesia and the Philippines dan bekerjasama dengan KEMENDAGRI, pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Pemerintah Kabupaten Sigi yang di dukung oleh Federal Ministry for Economic Co-operation and Development, Republic of Germany (BMZ) /Kementerian Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Repubik Federal Jerman (BMZ).
[End]
Penulis: Satrio Amrullah | Editor: Satrio Amrullah