
Dalam gelaran bergengsi ASEAN Sustainable Development Goals-Social Solidarity Economy (SDG-SSE) Forum 2025 di Swis Garden Hotel, Bukit Bintang, dua entitas dari Palu, Indonesia, mencuri perhatian.
Sikola Mombine, sebuah organisasi masyarakat sipil, bersama Inbis Palu, lembaga pemerintah daerah, tampil sebagai presenter dalam sesi Roving Workshop, membagikan praktik cemerlang kolaborasi inklusif berbasis kearifan lokal untuk memajukan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) melalui Ekonomi Solidaritas Sosial (SSE).
Forum yang berlangsung di Kuala Lumpur pada 22-23 Mei ini, dipimpin bersama oleh All-Party Parliamentary Group Malaysia (APPGM), Asian Solidarity Economy Council (ASEC), dan MySDG Academy, bertujuan mengevaluasi kemajuan SDG di ASEAN, mempromosikan SSE sebagai alat efektif untuk melokalkan SDG, memperkuat solidaritas antar pemangku kepentingan, dan menyusun Peta Jalan SDG-SSE ASEAN untuk periode 2026-2030.
Melalui undangan khusus dari APPGM dan ASEC, Sikola Mombine dan Inbis Palu mendapat kesempatan mempresentasikan pengalaman mereka membangun kemitraan strategis dengan Sasakawa Peace Foundation (SPF) dan Pemerintah Kota Palu.
Dalam format Roving Workshop yang dinamis – enam sesi presentasi dan diskusi selama 15 menit – mereka mengangkat tema “Nosarara Nosabatutu Dalam Aksi: Bagaimana Kolaborasi Inklusi Mengarahkan Kewirausahaan Sosial di Palu”.
“Pasca bencana dahsyat 2018, tantangan Kota Palu tidak hanya membangun kembali infrastruktur fisik, tetapi juga menciptakan ekonomi inklusif yang benar-benar tidak meninggalkan siapa pun (leaves no one behind), khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas,” papar perwakilan Sikola Mombine dalam presentasinya, menyoroti kompleksitas pemulihan yang berkelanjutan.
Menghadapi tantangan multidimensi itu, Sikola Mombine bersama SPF mengusung pendekatan berbasis Ekonomi Solidaritas Sosial (SSE) sebagai model alternatif.
Pendekatan ini menekankan prinsip solidaritas, keberlanjutan, dan kolaborasi lintas sektor, yang dianggap selaras dengan nilai-nilai budaya lokal Palu.
Pada 2023, studi mendalam dilakukan untuk menguji urgensi penerapan SSE di kota tersebut. Studi tersebut menghasilkan tiga temuan kunci:
- Organisasi masyarakat sipil (CSO) di Palu secara organik telah mempraktikkan nilai Nosarara Nosabatutu — sebuah konsep budaya lokal yang mencerminkan semangat kebersamaan dan no one left behind, nilai yang beririsan langsung dengan prinsip SSE dan SDG.
- Belum terbentuk kolaborasi lintas sektor yang terstruktur dan berkelanjutan antara pemerintah, CSO, dan pelaku usaha.
- Kewirausahaan inklusif terbukti menjadi pilar krusial bagi ketahanan komunitas jangka panjang.
Temuan inilah yang kemudian memicu upaya sistematis untuk mempromosikan model SSE yang kolaboratif dan kontekstual di Palu.
Kemitraan antara pemerintah (diwakili Inbis Palu) dan masyarakat sipil (Sikola Mombine) menjadi tulang punggung strategi ini.
“Pemerintah Kota Palu menunjukkan komitmen nyata dengan menyediakan sumber daya keuangan, termasuk mengalokasikan sebagian dari Dana Inklusi senilai 1,3 miliar rupiah,” jelas perwakilan Inbis Palu.
“Inbis Palu bertanggung jawab dalam mendukung pengembangan kewirausahaan. Namun, kami mengakui adanya keterbatasan kapasitas dan pengalaman khusus dalam merancang program yang benar-benar inklusif, terutama untuk penyandang disabilitas.”
Di sinilah peran krusial Sikola Mombine sebagai CSO muncul. Organisasi ini menyumbangkan human capital, memperkuat jaringan komunitas akar rumput, dan memberikan pendalaman wawasan lokal yang tak ternilai.
Sinergi ini kemudian direalisasikan melalui program match-making yang secara cerdas menghubungkan pelaku usaha sosial dengan penyandang disabilitas yang memiliki potensi.
Dua contoh konkret yang dipaparkan adalah Tenun Al-Hikmah, yang memberdayakan perempuan dan penyandang disabilitas melalui kerajinan tenun tradisional, dan Kweyang Palu, sebuah restoran yang secara aktif menyediakan lapangan kerja bagi penyandang disabilitas.
Bersama Pemerintah Kota Palu, mereka juga meluncurkan proyek percontohan untuk meningkatkan inklusivitas pada pelaku usaha yang ada dan memperluas akses bagi pelaku usaha disabilitas.
Salah satu inisiatifnya adalah menyusun modul pelatihan pemasaran digital yang dirancang khusus untuk kebutuhan pelaku usaha dengan disabilitas tuli.
Kolaborasi yang erat dan saling melengkapi ini telah menghasilkan dua capaian signifikan:
- Deklarasi Palu: Sebuah komitmen politik tingkat tinggi yang ditandatangani secara resmi oleh Walikota Palu dan Ketua DPRD Kota Palu. Deklarasi ini mengukuhkan tekad pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi pelaku usaha sosial sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi inklusif.
- Pembentukan Kelompok Kerja Inklusif: Sebuah forum lintas pemangku kepentingan yang bertugas mengembangkan Peta Jalan SSE Kota Palu, memastikan pendekatan kolaboratif ini memiliki arah dan keberlanjutan yang jelas.
Kehadiran dan presentasi Sikola Mombine serta Inbis Palu di Roving Workshop ASEAN SDG-SSE Forum 2025 dinilai sebagai momen penting.
“Forum ini adalah platform ideal untuk berbagi pembelajaran dari kerja-kerja akar rumput dalam mendorong ekonomi solidaritas sosial,” ujar seorang peserta dari Filipina.
“Model kemitraan Pemerintah-CSO yang saling mengisi seperti di Palu, yang dibangun di atas nilai budaya lokal (Nosarara Nosabatutu) dan ditujukan untuk inklusi penuh, sangat inspiratif dan berpotensi besar untuk diadopsi atau diadaptasi di negara-negara ASEAN lain yang menghadapi tantangan serupa.”
Presentasi dari Palu ini tidak hanya menawarkan cerita sukses lokal, tetapi juga memberikan blueprint praktis tentang bagaimana prinsip-prinsip global SDG dan SSE dapat diterjemahkan secara efektif ke dalam tindakan lokal melalui pendekatan kolaboratif yang menghargai konteks budaya dan mengedepankan inklusivitas.
Pengalaman Palu menjadi bukti nyata bahwa membangun kembali dengan prinsip no one left behind bukanlah utopia, melainkan tujuan yang dapat dicapai melalui kemitraan yang tulus dan desain program yang inovatif dan berpusat pada manusia.
Sumber: Kompasiana