• Post author:
  • Post category:Blog
  • Post comments:0 Comments

Perempuan secara kodrati dapat melahirkan. Meskipun demikian, pengambilan keputusan untuk mau melahirkan atau tidak, mau punya anak berapa, dan mau punya anak kapan, dan lain-lain seringkali melibatkan campur tangan budaya, keyakinan agama, dan juga musyawarah bersama pasangan atau keluarga.

Belakangan ada isu viral terkait dengan istilah childfree yang menjadi kontroversi. Apakah childfree itu, mengapa isu ini menimbukan kontroversi, dan bagaimana cara menyikapinya?

Arti Childfree

Childfree, menurut definisi dari kamus Cambridge, berarti seseorang yang memilih untuk tidak mempunyai anak, atau situasi dan kondisi tanpa anak (people who choose not to have children, or a place or situation without children). Childfree biasanya merujuk pada seseorang, biasanya sudah menikah, yang tidak menginginkan anak dengan berbagai motivasi yang melatarbelakangi pilihannya. Childfree berbeda dengan ChildlessChildless lebih ke dalam kondisi dimana seseorang tanpa anak yang disebabkan karena keadaan seperti keguguran, maupun kondisi fisik dan biologis lainnya.

Mengapa Childfree menjadi kontroversi?

Childfree menjadi kontroversi karena terdapat dua pandangan dari kelompok yang berbeda.

Kelompok yang setuju berpendapat bahwa kesuksesan perempuan tidak lagi diukur pada ranah domestik, melainkan juga publik, seperti capaian karir, prestasi, dan lain-lain. Oleh karena itu, memilih untuk menjadi childfree sah-sah saja dilakukan karena hal itu adalah sebuah kebebasan bersifat personal dan mungkin juga keputusan bersama dalam sebuah keluarga. 

Kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa fitrahnya orang bernyawa adalah menghendaki atau menginginkan adanya keturunan. Alasan takut menyakiti anak karena merasa tidak mampu bertanggung jawab, tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, manusia perlu berurusan dengan manusia lainnya untuk saling memberi kebermanfaatan. Dengan demikian, mereka yang childfree, dianggap tidak selaras dengan fitrah yang diyakininya.

Lalu bagaimana cara kita menyikapi fenomena ini?

  1. Sadari bahwa setiap orang, terutama perempuan, mempunyai keragaman pengalaman untuk mengatur tubuhnya. Keragaman pengalaman tersebut dapat dipengaruhi oleh budaya, pengetahuan, penafsiran agama, dan juga pengalaman hidupnya.
  2. Setiap orang mempunyai hak untuk menentukan kebahagiannya, termasuk dalam hal punya atau tidak punya anak. Sebagian orang akan merasa bahagia bila hidupnya tidak memiliki anak, namun ada pula yang merasa sebaliknya. Pilihan-pilihan itu perlu dihormati satu sama lain tanpa saling menghakimi.
  3. Semua pilihan pasti ada konsekuensinya. Maka pastikan untuk memilih dengan penuh kesadaran dan berdiskusi bersama pasangan atau keluarga. 
  4. Beberapa data menunjukkan hidup dilingkungan individualis tanpa anak dimasa tua akan membuar sesorang mengalami kerentanan. Jika pilihannya demikian maka seorang yang memilih childfree perlu melakukan rekayasa sosial dilingkungannya atau menyiapkan modal sosial yang siap berbagi saat renta. 
  5. Jika keputusannya adalah memiliki anak maka harus disertai dengan rasa tanggung jawab untuk mendidik dan menumbuh kembangkan anak menjadi generasi berkualitas. Tanggung jawab ini harus diemban bersama oleh suami dan istri. No women left behind. Sebagai keputusan bersama maka suami-istri harus saling mendukung pengembangan potensi diri masing-masing, serta melaksanakan tugas-tugas pendidikan anak dan tugas-tugas kerumahtanggaan bersama-sama.

Demikian, semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan