Pemerintah kecamatan Palu Barat baru-baru ini membuat kebijakan yang kontroversial. Kebijakan itu ialah meminta 19 bilik penghuni huntara di jalan Asam III kelurahan Kabonena untuk mengosongkan huntara tersebut secepatnya. Tindakan ini didasari oleh kebijakan pemkot untuk memindahkan pengungsi yang menempati tenda di masjid Agung agar dipindahkan secepatnya ke Huntara. Sementara beberapa Huntara yang sudah dibangun oleh pemerintah telah terisi oleh para penyintas lain, yang menurut pihak kecamatan 19 penghuni huntara tersebut bukanlah penyintas yang kehilangan rumah, melainkan mereka yang sebelum bencana tinggal di kost-kostan atau kontrak.
Meski alasan ini terdengar masuk akal, namun tindakan sewenang-wenang pemerintah kecamatan Palu Barat ini patut disayangkan. Terlebih tindakan pemerintah kecamatan yang mendatangi huntara bersama aparat telah mempengaruhi psikologis penyintas. Padahal mayoritas mereka yang menempati bilik tersebut adalah perempuan, ibu hamil dan anak-anak. Bahkan salah satu dari ibu hamil tersebut mengintung hari untuk melahirkan.
Mestinya pemerintah kecamatan melakukan proses pendekatan persuasif dan dialog terlebih dahulu bersama warga, mengapa bilik huntara tersebut mesti dikosongkan. Kendatipun alasannya huntara tersebut akan diberikan kepada warga lain yang masih tinggal di tenda pengungsian mesjid Agung, namun keberadaan mereka yang telah tinggal dibilik itu juga mesti dicarikan solusinya bersama-sama. Apalagi mereka telah tinggal di huntara tersebut berbulan-bulan lamanya dan telah mengantongi surat izin dari kelurahan.
Miris jika sampai hari ini ada seorang anak jatuh sakit karena melihat orang tuanya menangis memikirkan waktu dua hari untuk mengosongkan bilik tersebut. Mereka bingung tidak tahu harus tinggal kemana, walaupun menurut pihak kecamatan akan ada mobil pamong praja yang akan memuat mereka, tapi tujuannya kemana mereka sendiri belum tahu dengan pasti. Padahal mereka yang menempati bilik ini adalah penghuni rusunawa, yang pascabencana rusunawa tersebut tidak dapat lagi ditempati. Tentu mereka juga tak ingin tinggal dihuntara bila bukan karena terpaksa. Mereka juga sama-sama korban bencana yang harusnya dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah.
Pemerintah wajib memberi perlindungan kepada warganya. Terlebih pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi ini semestinya pemerintah memberi harapan bagi korban atas perbaikan hidup mereka kedepan bukan malah membuat mereka terintimidasi atau menambah beban hidup. Masih ada cara lain semisal mendata semua huntara yang dibangun oleh PUPR, BUMN, Swasta maupun NGO yang masih kosong dan bisa ditempati oleh pengungsi Mesjid Agung. Contohnya masih ada 27 bilik huntara kosong di jalan Asam III dan 29 bilik huntara di jalan Buvukulu belum terisi.
Kami meminta kepada pemerintah kecamatan Palu Barat untuk tidak merealisasikan kebijakan pengosongan huntara Kompas tersebut. Jika hal ini terus berlanjut pemerintah kota harus menyelesaikan persoalan hal ini dengan prinsip rehab rekon yang berkemanusiaan.
Risnawati
Direktur Sikola Mombine