• Post author:
  • Post category:Blog
  • Post comments:0 Comments

Perkawinan pada usia anak seringkali menimbulkan dampak negatif yang serius, sehingga memerlukan perhatian serius dan campur tangan dari berbagai pihak. Dampak ini tidak hanya merugikan bagi anak yang terlibat, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi yang merugikan, baik dari segi fisik maupun mental.

Anak-anak yang menikah pada usia dini, disertai dengan kematangan mental yang belum sepenuhnya berkembang, seringkali kesulitan menanggung beban dan tanggung jawab setelah menikah. Selain itu, hal ini juga dapat menjadi hambatan serius terhadap pendidikan dan peluang masa depan mereka.

Sadly Lesnusa, Asisten III Bidang Administrasi Umum Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, mengungkapkan bahwa Sulawesi Tengah menempati peringkat kelima dengan tingkat perkawinan usia anak tertinggi di Indonesia. Presentase perkawinan usia anak di Sulawesi Tengah mencapai 12,65 persen, berada di bawah Provinsi NTB, Kalimantan Tengah, Gorontalo, dan Kalimantan Barat.

“Kenyataan ini menunjukkan bahwa perkawinan usia anak masih menjadi permasalahan yang signifikan di wilayah Sulawesi Tengah,”

kata Sadly (06/11/2023) dikutip dalam Diksi.net.

Menurut Sadly, sejumlah kabupaten di Sulawesi Tengah berkontribusi besar terhadap tingginya angka perkawinan usia anak. Data dari Kantor Kementerian Agama Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa Kabupaten Parigi Moutong menduduki peringkat tertinggi, diikuti oleh Kabupaten Buol, Banggai, Tojo Una-una, dan Kota Palu.

Menanggapi hal tersebut, Fiani Rizky, Manajer Program Perlindungan Anak Yayasan Sikola Mombine, menyatakan bahwa persoalan ini bukan sekadar isu, melainkan merupakan kenyataan di lapangan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kerjasama lintas sektor.

“Melihat kondisi anak-anak di Sulawesi Tengah saat ini, perlu dipahami bahwa langkah-langkah untuk melindungi anak dan mengurangi Perkawinan Usia Anak (PUA) harus melibatkan kerjasama lintas sektor, terutama melibatkan orang tua, tokoh adat, tokoh agama, dan pemimpin desa/kelurahan,”

ujar Fiani.

Fiani juga menekankan perlunya kesadaran akan risiko perkawinan usia anak yang harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak, orang tua, serta pemimpin desa setempat. Hal ini diharapkan dapat membangun sistem sosial yang mampu mencegah terjadinya pernikahan anak.

Salah satu dampak perkawinan anak ialah menjadikan anak berperan sebagai orang tua sebelum waktunya, menciptakan situasi di mana anak tersebut harus merawat dan mendidik anaknya sendiri tanpa kesiapan dan pengetahuan yang memadai untuk memenuhi peran sebagai orang tua.

Sebagai lembaga yang bergerak pada isu perlidungan perempuan, anak dan kelompok rentan, Yayasan Sikola Mombine bersama Wahana Visi Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini melalui program Community Engagement Sponsorship and Planning & Child Protection (CESP & CP) di empat kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, yaitu Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong. Berbagai kegiatan yang telah dilakukan meliputi: penguatan kapasitas ke anak, orang tua, dan tokoh agama serta melakukan advokasi kepada pemerintah daerah untuk mendorong sistem perlindungan anak.

[End]

Penulis: Satrio Amrullah | Editor: Satrio Amrullah

Tinggalkan Balasan