Menjalankan Program Perhutsos untuk Perempuan dan Generasi Muda (PSPGM) oleh Yayasan Sikola Mombine memberikan banyak pelajaran berarti. Bukan hanya secara kelembagaan yang terbangun kesadaran kritis, namun setiap individu-individu yang terlibat dalam menjalankan program ini tergugah bahkan tercerahkan melihat bagaimana besarnya pengaruh kepemimpinan perempuan yang mampu mendobrak sistem patriarki yang telah mengakar kuat dalam tata kelola hutan dan lahan di Sulawesi Tengah.

Individu-individu tersebut, baik yang berdiri sendiri secara personal (yang awalnya bergabung dengan penuh keragu-raguan, penasaran, atau hanya karena mengisi waktu luang), maupun individu-individu yang telah terafiliasi dalam struktur pemerintahan, pengambil keputusan dalam komunitas, pemangku adat, atau bahkan individu yang hidupnya adalah “HUTAN” tempat dimana mereka menjalankan kehidupan. 

Tujuan program PSPGM ini yaitu memperkuat keterlibatan kelompok Perempuan dan Generasi Muda (PGM) dalam pengelolaan Perhutsos di Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya pada tiga desa yaitu Desa Rano di Kabupaten Donggala, Desa Sansarino di Kabupaten Tojo Una-Una, dan Desa Malitu di Kabupaten Poso. Tulisan ini akan merefleksikan bagaimana bentuk penguatan yang dilakukan oleh Sikola Mombine terhadap 357 perempuan yang mengelola hutan seluas 3.895 Ha, dimana 42 orang perempuan diantaranya telah mempelopori pembentukan 13 Kelompok Perhutsos (KPS) dan 9 Kelompok Usaha Perhutsos (KUPS) diketuai oleh perempuan.

Tidak hanya itu, KUPS yang dibentuk harus berjuang untuk memperoleh sertifikasi halal dan surat izin berusaha yang menempuh proses administrasi dan legalisasi yang cukup panjang.  Dengan bekal ilmu pengelolaan usaha yang didapatkan dari hasil pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh Sikola Mombine, KUPS ini terus bergerilya melawan tengkulak yang memiliki modal besar untuk meyakinkan para pelaku usaha lainnya agar menjualkan produk usahanya di KUPS, walaupun hanya bermodalkan kepercayaan individu-individu pemimpin perempuan sebagai jaminannya.

Kepemimpinan kolektif perempuan dalam mempengaruhi kebijakan di Desa Malitu, Desa Rano, dan Desa Sansarino melalui musyawarah desa, mampu menggugah aparat pemerintah melalui persetujuan masyarakat untuk mengalokasikan anggaran di tiga desa tersebut dengan akumulasi sejumlah Rp 47.470.000. Peruntukan anggaran tersebut beragam, mulai dari dukungan anggaran untuk pengadaan alat produksi KUPS di Desa Sansarino, sosialisasi perhutanan sosial oleh LPHD di Desa Rano, bahkan untuk penguatan kapasitas LPHD dalam mengelola perhutsos serta peningkatan produksi KUPS. 

Sejak tahun tahun 2019, Sikola Mombine mendampingi masyarakat Desa Malitu di Poso Pesisir Selatan untuk pengajuan Hutan Desa ke KLHK. Namun, hubungan Sikola Mombine bersama kelompok perempuan di Desa Malitu telah terjalin sejak tahun 2015. Kelas balai belajar kampung pertama dilaksanakan di Rumah Ibu Hasira, perempuan muslim yang tinggal di desa yang bermayoritas kristen. Ibu Hasira merupakan pembuat gula aren, yang tidak sengaja bertemu dengan pendamping Sikola Mombine karena rumahnya berdekatan dengan mesjid. Saat itu, Desa Malitu menjadi wilayah operasi keamanan Tinombala untuk menangkap kelompok teroris Indonesia yang bermarkas di gunung biru yang beririsan dengan wilayah hutan Desa Malitu. Dengan situasi yang cukup mencekam saat itu, kelas balai belajar tetap berjalan dengan modul kepemimpinan perempuan di desa “membongkar kebisuan perempuan”.

Setelah bertahun-tahun berdinamika dengan masyarakat Malitu, dengan pengetahuan terbatas yang dimiliki oleh Sikola Mombine tentang Perhutsos, Sikola Mombine memfasilitasi pembentukan LPHD Mesale. Nama Mesale diambil dari bahasa Poso yang artinya gotong-royong. Hanya lima perempuan yang tergabung dalam kepengurusan LPHD saat itu. Itupun perempuan yang sudah mengikuti kelas balai belajar kampung.

Seluruh dokumen pengusulan telah rampung dikumpulkan mulai dari peta usulan kawasan hutan, perdes tentang pembentukan LPHD, SK pengurus LPHD, serta profil desa. Namun, ketika verifikasi teknis dilakukan oleh KLHK, diketahui bahwa lokasi yang dimohonkan sebagai hutan desa merupakan bagian hutan yang dikuasai oleh PT Pasuruan Furnindo, hal ini juga terlihat dari overlay peta yang dilakukan di Dinas Kehutanan. Akibat tumpang tindih kawasan tersebut, Hutan Desa Malitu tidak dapat disahkan. Berdasarkan penelusuran internet PT Pasuruan Furnindo merupakan perusahaan pemegang IUPHHK-HA sejak 13 Februari 2001 dengan SK No. 34/Kpts-II/2001 seluas 47.915 HA, namun hingga tahun 2020 belum aktif dijalankan.

Semangat dalam mengusulkan Hutan Desa oleh pengurus LPHD tidak hanya berhenti sampai disitu saja, berbagi cara telah di tempuh oleh kepala desa didampingi ketua LPHD. Sikola Mombine memfasilitasi pertemuan dengan Dinas Kehutanan dan PT Pasuruan Furnindo, namun hasilnya mengecewakan, kami diarahkan untuk menunggu hingga izin PT.Pasuruan Furnindo selesai di tahun 2021.

Hingga akhirnya, diawal tahun 2022 LPHD mesale kembali mengusulkan Hutan Desa seluas 1.027 H dengan memperbarui seluruh dokumen pengusulan. Pada kesempatan tersebut, ibu Ester Balango selaku aparat desa Malitu mengusulkan untuk dilakukan restrukturisasi kepengurusan LPHD agar komposisi antara laki-laki dan perempuan seimbang. Hingga akhirnya terdapat 11 perempuan dan 9 laki-laki yang menjadi pengurus LPHD Mesale, dengan 5 orang diantaranya adalah generasi muda. 

Sambil menunggu proses verifikasi dan izin hutan desa di terbitkan oleh KLHK, berbagai peningkatan kapasitas tentang perhutanan sosial terus digalakkan oleh Sikola Mombine. Mulai dari melaksanakan pelatihan tentang pengarusutamaan gender dalam perhutanan sosial, kelas penggerak muda, kelas balai belajar kampung, penguatan tata kelola organisasi LPHD, Perencanaan dan Penganggaran yang Responsive Desa, pemetaan hutan desa menggunakan teknologi Avenza, hingga pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial. 

Dari berbagai peningkatan kapasitas yang diberikan, pelatihan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsive Desa dan pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial merupakan kegiatan yang penuh dinamika. Berbicara tentang anggaran yang responsive gender untuk mendukung perhutanan sosial tentu saja melibatkan berbagai kepentingan politik di desa. Pasalnya, anggaran desa yang terbatas harus memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat yang beragam.

Istilah di desa yang sering dikenal adalah “siapa yang banyak bicara, dia yang dapat tampias” artinya siapa yang mampu mengungkapkan pendapatnya di forum, maka usulan yang diberikan kemungkinan akan mendapatkan porsi anggaran dari desa. Lalu bagaimana dengan perempuan-perempuan yang tidak terbiasa berbicara di forum-forum publik? “Jangankan berbicara di musyawarah desa, diundangpun tidak”. Ungkap ibu Sefrida Gora salah satu Pengurus LPHD Mesale. Bahkan jadwal musdespun harus bertabrakan dengan berbagai kegiatan domestik seperti memasak, mengantar anak ke sekolah, pergi ke kebun, bahkan memasak air nira untuk diolah menjadi gula aren. 

Situasi ini mendorong Sikola Mombine untuk menginisasi musyawarah desa yang inklusi. Diawali dengan berdialog yang panjang dengan kepala desa agar membuat musdes tematik berdasarkan kelompok gendernya seperti kelompok laki-laki, kelompok perempuan, kelompok remaja, kelompok lansia, serta serta perwakilan-perwakilan organisasi di desa seperti karang taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Lembaga Keagamaan, Posyandu, dan Kelompok Adat. Tentu melihat proses yang panjang membuat pemerintah desa resisten untuk menjalankannya. Apalagi akan menambah biaya makan minum serta tenaga fasilitator untuk memfasilitasi kegiatan.

Prespektif pemerintah yang sangat pesimis melihat bahwa yang akan memberikan masukan tentang desa pasti hanya “orang-orang itu saja” bagaimana pun bentuk pengambilan usulan-usulannya. Apalagi usulan-usulan tersebut segera harus dirampungkan dalam dokumen RPJM Desa yang secara teknis selalu “berlomba dengan waktu” untuk segera diasistensi bertingkat mulai dari review pendamping desa, kecamatan, hingga disahkan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa di Kabupaten. 

Semangat Sikola Mombine untuk memastikan bahwa semua kelompok gender perlu didengarkan masukannya tak gentar hanya karena teknis koordinasi yang berjenjang. Dibutuhkan energi yang besar serta fasilitator yang kompeten untuk memastikan semua pihak-pihak diatas menerima upaya ini. Apalagi langkah ini adalah terobosan yang baru yang memerlukan ruang-ruang diskusi yang lebih banyak. Hingga akhirnya, enam kali musdes berdasarkan kelompok gender berhasil dilaksanakan dalam kurun waktu 7 hari termaksud konsolidasi-konsolidasi kecil di rumah-rumah warga.

Berikut adalah rincian usulan kegiatan yang berhasil dianggarakan oleh desa yang berkaitan dengan perhutanan sosial sebagai berikut:

Nama DesaProgram DukunganJumlah anggaranTahun
RanoSosialisasi Perhutanan Sosial oleh LPHDRp 500.0002022
SansarinoDukungan pengadaan alat produksi untuk KUPSRp 24.145.000 – Rp 15.000.0002022-2023
Malitu Peningkatan kapasitas LPHDDukungan peningkatan produksi untuk KUPSRp 2.825.000 – Rp   5.000.0002022-2023
Sumber: Data diolah Sikola Mombine

Tantangan lainnya juga dihadapi dalam melaksanakan Musdes Inklusi di Desa Sansarino yang notabenen baru diorganisir oleh Sikola Mombine sejak program PSPGM berlangsung di tahun 2021. Sebelum Musdes diselenggarakan, kelas balai belajar kampung telah dilaksanakan dari rumah ke rumah agar ketika musdes dilaksanakan suara perempuan dan generasi muda. 

Peningkatan kapasitas regular yang dilakukan oleh Sikola Mombine kepada Perempuan dan generasi muda melalui kelas balai belajar kampung disesuaikan dengan kebutuhan materi yang mereka butuhkan memberikan impact kepada perempuan dan generasi muda dalam mengembangkan diri sehingga melahirkan woman champion dan generasi muda. Adapun materi-materi yang diberikan dalam kelas balai belajar kampung antara lain Pengantar gender dan Seks, Kepemimpinan Perempuan dalam konteks lokal, Pluralisme, Perhutanan Sosial, Perempuan dan lingkungan, Perempuan dan upaya pengelolaan hutan yang berkelanjutan, Literasi Keuangan Keluarga, Strategi advokasi dan negosiasi, serta publik speaking. 

Mengikuti kelas balai belajar dengan berbagai materi tentu saja tidak sepenuhnya berjalan mulus. Jumlah peserta yang naik turun serta semangat peserta lainnya untuk konsisten mengikuti materi hingga tuntas pasti banyak tantangan. Ibu Ratni, selaku women champion di dusun Kajou harus menyambangi dari rumah ke rumah untuk mengajak ibu-ibu untuk mengikuti kegiatan kelas belajar. Walaupun proses musdes di desa Sansarino cukup berbeda dengan Desa Malitu, Desa Sansarino melaksanakan Musdes selama tiga hari.

Hal yang menarik adalah, dalam Musdes tahun 2022, dari 62 orang masyarakat yang hadir, diantaranya terdapat 17 orang perempuan dan generasi muda yang hadir dalam musdes tersebut. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang hadir dalam musdes paling banyak 5-7 orang perempuan, itupun merupakan kader-kader posyandu, ungkap Sekdes Desa Sansarino. Musdes Desa Sansarino menjadi lebih berwarna, musdes menjadi ajang bagi perempuan untuk menunjukan kemampuannya dalam berbicara di ruang publik, dengan suara lantang dan saling mendukung perempuan dan generasi muda memastikan bahwa kebijakan pembangunan yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan, aspirasi, dan kepentingan seluruh lapisan masyarakat, khususnya pada bidang pengelolaan hutan desa yang berkelanjutan dan kemudian menjadi ruang bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi terkait pengembangan KUPS dan mengakses dukungan pendanaan melalui ADD.

Akhir 2022, menjadi tahun yang paling dinantikan oleh masyarakat Desa Sansarino. Berdasarkan SK.8150/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/10/2022, masyarakat Desa Sansarino resmi mengelola kawasan hutan seluas 1.858 H. Dua bulan kemudian, kabar gembira datang kepada masyarakat desa Malitu, SK 10256/MENLKH-PSKL/PKPS/PSL0/12/2022 telah terbit dan Desa Malitu resmi mendapatkan izin pengelolaan hutan desa seluas 1.027 H. Dua SK ini menjadi pelengkap tiga desa yang didampingi oleh Sikola Mombine dimana Desa Rano telah mendapatkan izin sejak tahun 2018 dengan luas 1.010 H dengan nomor SK.4665/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/7/2018

Pembelajaran dalam membentuk 13 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) serta mendampingi proses legalisasi usaha, sertifikasi halal dan izin PIRT menjadi pembelajaran menarik bagi Sikola Mombine. Kami meyakini bahwa kesejahteraan masyarakat dalam mengelola hutan tidak hanya mendapatkan manfaat secara lingkungan melainkan juga ekonomi. Proses pemetaan partisipatif yang dilaksanakan sangat mengandalkan pengetahuan masyarakat dalam memetakan potensi sumberdaya hutan, kemampuan masyarakat dalam mengelola potensi hutan menjadi produk olahan, serta permintaan pasar. Tiga unsur ini menjadi pertimbangan penting dalam menentukan produk apa yang akan menjadi pilihan utama untuk membentuk KUPS.

Di desa Malitu, terdapat 3 kelompok KUPS yang telah terbentuk dan mengelola buah nira menjadi gula semut dan gula aren serta membuat kerajian tangan dari rotan dan bambu. Ketiga KUPS tersebut telah mendapatkan predikat Silver karena telah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB), PIRT dan sertifikat halal.

Perjuangan dalam mendapatkan legalisasi usaha tersebut memiliki tantangan yang cukup besar utamanya bagi KUPS Madago Raya yang megelola Gula Semut untuk mendapatkan sertifikat halal. Pasalnya, kelompok KUPS yang mayoritas anggotanya adalah beragama kristen sehingga menimbulkan keraguan kepada tim asessor untuk memastikan bahwa produk yang dikelola mengikuti prosedur halal. Walaupun proses produksi sudah dilaksanakan di rumah produksi yang dibangun dengan anggaran desa pada tahun 2019, serta menggunakan peralatan lengkap sesuai dengan standar kesehatan, sertifikat halal tak kunjung datang. Sertifikat ini menjadi penting karena permintaan pasar untuk produk gula semut meningkat namun tidak dapat dipasarkan di toko-toko karena tidak memiliki sertifikat halal.

Berbagai upaya telah dilakukan mulai dengan aktif berkoordinasi dengan Dinas Kumperindag untuk mengisi berbagai macam formulir, mendatangi stand pameran Kumperindang untuk menindaklanjuti formulir pendaftaran, bahkan menemui pendamping halal untuk melakukan persuasif personal agar segera dilakukan sertifikasi. Hinggal akhirnya 12 bulan menunggu, tim asessor datang ke rumah produksi gula semut di malitu dan 30 hari setelahnya sertifikat halal resmi diterbitkan oleh Dinas Kumperindag Kab.Poso.

Setelah seluruh legalisasi produk telah didapatkan, berbagai tantangan baru terus menghampiri KUPS di Desa Malitu. Ibu Damaris, dari KUPS Lestari yang memproduksi gula gasing merasa bahwa masyarakat masih banyak yang menjual gula gasing kepada tengkulak sehingga ketergantungan hutang piutang terhadap tengkulak sangat besar. Petani gula aren pun tidak  dapat menentukan harga gula aren dikarenakan telah terbebani hutang dengan tengkulak. Hal yang dilakukan ibu Damaris untuk memprovokasi agar petani gula aren tidak menjual ke tengkulak adalah dengan mengumpulkan modal dari anggota KUPS lainnya untuk membeli gula aren dan menjualnya di pameran HUT Poso pada bulan Maret 2023. Sebanyak 500 gula gasing berhasil dikumpulkan dan dijual diacara tersebut. Namun, ibu Damaris mengakui bahwa keterbatasan akses pasar yang dimiliki oleh KUPS tidak sebanding dengan akses pasar yang dimiliki oleh tengkulak sehingga perputaran modal sangat lambat. 

“Para tengkulak memanfaatkan kepolosan dan kemiskinan penduduk desa. Saya mengajak teman-teman lain sesama produsen gula aren untuk melawan kondisi ini dengan mempertahankan harga yang layak. Semoga KUPS Gula Aren bisa menjadi kekuatan untuk melawan tengkulak dan membawa kesejahteraan bagi warga Desa Malitu.”ungkap Ibu Damaris. Bagaimanapun hasilnya, setidaknya kami sudah berusaha untuk memutus kebergantungan terhadap tengkulak. 

Semua perubahan yang dicapai melalui proses yang tidak biasa. Sikola Mombine banyak belajar bagaimana memetakan aktor kunci sebagai langkah yang tepat untuk membangun komunikasi yang komprehensif. Tak hanya itu, bagi Sikola Mombine menemukan perempuan-perempuan pemimpin di akar rumput adalah sebuah keajaiban.

Kami percaya bahwa hutan dan kehidupan selalu memiliki cara-cara ajaib untuk menggerakan para perempuan-perempuan ini agar meringankan langkahnya untuk berkumpul dari satu pertemuan balai belajar kampung ke pertemuan-pertemuan selanjutnya. Melalui proses belajar yang panjang, bukan hanya pikiran mereka yang terbarukan, tapi hati mereka juga tergerak untuk bertindak diluar dari batas kemampuanya, batas-batas yang memisahkan mana yang lazim dilakukan perempuan dan laki-laki, batas-batas yang memisahkan dapur dan ruang publik, batas-batas yang memisahkan antara hutan dan perempuan.

[End]

Penulis: Fira Tiyasning Tri Utari | Editor: Satrio Amrullah

Tinggalkan Balasan