Ditengah pandemic seperti saat ini banyak orang merasakan kesulitan secara ekonomi, bahkan untuk makanpun susah,  waktu mereka hanya dihabiskan untuk mencari rezeki di ladang, di laut, kebun, pasar dll. Khsususnya para ibu-ibu pencari nike[1], tidak terlintas dibenak mereka untuk memeriahkan kemerdekaan sedetikpun, mereka hanya sibuk mengais-ngais nike hasil tangkapan suami mereka yang telah dijemur. ”saat ini matahari tidak menentu, kadang pagi panas, menjelang sore sudah hujan” ujar ibu Afni kepada ibu Sumarni. Kedua perempuan ini bercakap-cakap tentang sulitnya masa-masa ini, anak-anak mereka pun tidak lagi sekolah, dan sekarang sudah mebantu ibu bapaknya menjala nike, anak ibu Sumarni pun sudah menikah di usia dini.

Masa pandemic seperti saat ini, tidak hanya berdampak pada ekonomi rumah tangga, namun juga berdampak pada siklus kawin anak. Kasus kawin semakin meningkat semenjak virus korona menyebar di Indonesia anak-anak. Menurut Kemen PPN/Bappenas, 400-500 anak perempuan usia 10-17 tahun beresiko menikah dini akibat covid-19, bahkan Kementerian PPPA mencatat hingga Juni 2020 angka perkawinan anak meningkat menjadi 24 ribu (Suara.com,2020). Meskipun UUD tentang perkawinan NO 1 Tahun 2014 (direvisi tahun 2019),  negara menaikkan usia perkawinan pada pria dan perempuan di angka 19 Tahun. Namun tetap saja angka kawin anak meningkat, sebab pernikahan bias terjadi meskipun belum tercatat secara hokum, pernikah dapat dilaksanakan secara agama maupun secara adat.

Beberapa factor terjadinya kawin anak dimasa pandemic, selain pergaulan bebas, tekanan ekonomi,  penutupan sekolah menjadi salah satu factor para anak perempuan merasa menjadi beban keluarga sehingga memilih menikah usia muda. Anak-anak yang tidak lagi mengikuti proses belajar di sekolah  akibat pandemic, terjerumus dalam situasi hubungan ”pacaran” yang menyebabkan orang tua mesti menikahkan anak perempuan mereka. Kondisi seperti saat ini sangat berpengaruh pada kondisi mental anak yang kemudian memilih bercerai dengan alasan mengalami kekerasan rumah tangga.

Hal ini yang kemudian menjadikan kemiskinan kepada perempuan semakin melekat, perempuan mesti bekerja, untuk memenuhi dirinya, memenuhi kebutuhan anaknya, pasca bercerai.  (Suami kadang lalai dan tidak memenuhi nafkah kepada anak dan mantan isterinya). Mau tidak mau anak perempuan dan anaknya mesti dibebani oleh orang tua mereka yang memiliki ekonomi pas-pasan.

Hal ini kemudian yang mendorong ibu Mutmainah Korona[2]  dan Sikolah Mombine mendorong  kota Palu menjadi kota layak anak.  Menjadi contoh bagi kota-kota lainnya agar dapat mengeluarkan perda  yang berkesetaraan gender  sampai ke level  desa.


[1] Nike : sejenis ikan teri yang didapatkan di muara sungai pada saat tertentu.

[2] Aktivis perempuan Anggota DPRD Kota Palu

Tinggalkan Balasan